Di pagi kedelapan setelah tidak ke mana-mana, Dira terbangun dari tidur yang penuh peluh. Sinar matahari telah menerobos ventilasi kamar, menjamah punggungnya, menjadikannya terasa sedikit hangat. Gadis itu menggeliat pelan menurunkan selimut, bangkit setelah beberapa detik berkelip seraya mengingat di mana ia sedang terbaring.
Remaja putri itu menyibak poninya yang lengket, meraba kening dengan telapak tangan. Tidak lagi terasa panas layaknya kemarin malam. Kepalanya juga sudah lumayan ringan. Saat memijakkan kaki di lantai pun, ia tak lagi merasakan sensasi mirip gempa. Perutnya yang sejak satu pekan yang lalu selalu diisi dengan makanan instan, mulai keroncongan. Ia melongok ke lemari tempat persediaan, yang kini sangat acak-acakan. Tangannya meraih satu bungkus mie seduh yang tersisa di antara bungkus-bungkus mie dan bubur instan yang sudah kosong.
Dira memandangi makanan itu, yang merupakan satu-satunya makanan yang ia miliki. Terpikir tentang bagaimana ia akan mengisi perut di siang dan malam nanti. Dompetnya sudah benar-benar kosong. Uang-uang koin yang mulanya berceceran di meja belajarnya pun sudah ludes. Bisa saja Dira menelepon orang tuanya untuk minta dikirimi uang, namun ia terlalu malu untuk mempermalukan dirinya sendiri.
Buat apa aku minta uang lagi cuma untuk beli makan. Aku udah bisnis sendiri, nggak perlu dibiayain orang tua lagi, begitu batin Dira. Setidaknya, kata-kata itulah yang Dira lontarkan dalam panggilan telepon dengan ibunya sebelum ia jatuh sakit—tentunya dengan bahasa yang diperhalus. Dan ucapan itu sesungguhnya sama sekali tidak mengandung kenyataan: gadis itu berbohong lantaran muak dengan dirinya sendiri yang selalu merepotkan ayah dan ibunya.
Dira berbohong demikian setelah ia tersadar bahwa tinggal jauh dari orang tua nyatanya bukan pilihan yang tepat untuk memangkas beban mereka. Justru mereka tetap harus merelakan hasil banting tulang kepada Dira untuk membayar biaya makan sehari-harinya. Oleh karena itu, Dira memutuskan untuk menggunakan tabungannya untuk bertahan, sembari berusaha mencari kerja sambilan. Uang tabungannya ia habiskan dengan membeli makanan instan yang sedang diskon. Tentu saja setelah itu ia tak makan apa-apa selain mie instan, dan itulah yang membuatnya tidak bisa masuk sekolah selama sepekan lamanya.
Namun, saat ini, Dira baru terpikirkan tentang biaya indekos serta sekolahnya. Ternyata itulah yang mengharuskan dirinya benar-benar mencari uang sendiri. Tetapi, tak banyak yang dapat ia lakukan sebagai siswi SMA. Bisa saja ia mencari sesuatu yang dapat menghasilkan uang lewat internet, namun baru-baru ini kuota internetnya habis. Keadaannya sekarang benar-benar krisis moneter.
Dira mengalihkan mata pada smartphone-nya di tepi meja, yang sudah beberapa hari tidak diaktifkan sama sekali. Dia jadi teringat akan informasi lomba cipta puisi yang dia dapatkan dari teman kelasnya dua hari sebelum sakit. Dalam poster digital yang temannya bagikan, tertera hadiah yang dijanjikan bagi para pemenang dan peserta terpilih, berupa uang yang tak sedikit. Dira sempat terpikir untuk mengikutinya, dengan harapan dapat menjadi pemenang. Dengan pengalamannya menulis puisi beberapa kali yang selalu diterbitkan oleh buletin sekolahnya dulu, ada peluang bagi Dira untuk merebut hadiahnya.
Kali ini, pandangan gadis itu tertuju pada jaket jingganya yang tertanggal di kursi. Ia merogoh saku jaket, menemukan dua lembar uang berwarna ungu dan kuning. Rupanya masih ada harapan dari jaket yang belum ia cuci sejak terakhir kali memakainya itu. Bergegaslah Dira mandi, kemudian mengenakan jaket itu bersama rok cokelat berbahan katun. Gagang pintu kamar kemudian ditariknya. Saat Dira mengunci kamar, banyak hal yang merambat masuk ke pikiran, berebut untuk bersemayam dan menjadi bahan lamunan utama gadis itu selama berjalan ke minimarket sekaligus mencari ide untuk puisi.
“Bebas,” Dira menggumamkan tema dari lomba puisi yang hendak ia ikuti. Pemandangan jalan di pagi akhir pekan samar-samar melintaskan ide di benaknya untuk melukiskan suasana tersebut di puisinya. Namun, tema itu kurang berhasil memikat hati Dira. Otaknya malah lebih tertarik untuk merenungkan satu kata yang diberikan penyelenggara lomba sebagai tema.
Bebas.
Atau kebebasan. Entah mengapa bukannya inspirasi tulisan yang berdatangan. Justru ingatan akan keluarga di rumah yang terbayang. Tidak ada satupun dari mereka yang tahu bahwa Dira sempat sakit, lantaran mengaktifkan smartphone saja ia enggan. Dira jadi mempertimbangkan lagi untuk menggunakan sisa uangnya itu untuk mengisi kuota. Walaupun, kuota itu ia beli hanya untuk mengumpulkan puisi. Jika ia nanti menyalakan gawainya, pasti akan banjir panggilan telepon maupun pesan dari Papa atau Mama. Hatinya tak tenang jika harus berbohong lagi. Tetapi tidak siap pula jika mereka mengetahui keadaannya. Pasti kedua orang tuanya akan langsung mengetuk pintu setengah hari setelah mengetahui kondisi buah hati mereka yang sebenarnya.
Itulah yang paling Dira takutkan. Dia tidak mau pulang. Di tempat ini, meski sakit-sakitan, Dira merasa telah berhasil menjemput kebebasannya. Ia tidak perlu lagi bangun pagi untuk memasak sarapan dan mencuci piring, serta menjemput adiknya di saat teman-temannya pulas tidur siang, juga membersihkan meja setelah makan malam. Sebenarnya, tidak ada yang menyuruh Dira melakukan semua itu seorang diri. Namun, jika ia hanya menumpang tinggal saja di rumah tanpa melakukan apapun, dia merasa orang tuanya mengutuk keberadaannya dalam diam. Perasaan selalu diawasi dan ditekan itu akan terus ada kecuali jika ia jauh dari orang tuanya.
Langkah Dira terhenti di tikungan. Di depannya lewat seekor kucing liar tiga warna dengan sepotong tulang di mulutnya. Coba perhatikan kucing itu, batin Dira, tersenyum pahit, nggak mungkin dia ingat siapa yang melahirkannya. Entah dia tinggal di mana. Tulang itu juga mungkin dia dapatkan dengan susah payah. Tapi, dia bebas.
Dira berjalan mengikuti belokan, meninggalkan gang tempat barisan pemukiman warga. Halaman-halaman rumah yang ada di belakangnya rata-rata dihiasi bunga-bunga yang beragam jenis dan warnanya. Tiba-tiba terlintas sesuatu di benak Dira yang dapat dijadikan baris pertama dan kedua dari puisinya,
Jikalau kau sedia singgah,
tak akan kau hirup harum taman kembang meruak
Gadis itu terdiam sejenak, kemudian muncul lagi baris ketiga dan keempat,
Tidak pula kau jumpa kembang beraneka rona
Dira mencatat kata demi kata yang ia rancang di dalam pikirannya. Sampai-sampai ia tak sadar telah menghasilkan beberapa baris lagi ketika tiba di minimarket,
Di sanalah kau dan seekor kucing liar bersua
Kucing yang hidup bersama sepenggal tulang
Yang ia keduk dari kotoran setiap siang dan malam
“Mau beli pulsa,” kata Dira kepada kasir yang baru saja memindai mie cup ukuran mini yang ia ambil sebelumnya. Kemudian ia menyebutkan nama operator serta nomor HP-nya.
“Yang berapa?”
“Sepuluh ribu.”
“Jadi empat belas ribu lima ratus.”
Setelah mendapatkan 500 peraknya, Dira buru-buru keluar, khawatir lupa akan rangkaian kalimat yang telah ia buat. Sembari berjalan cepat, terbentuk kata-kata baru yang akan melengkapi baris-baris sebelumnya,
Ia tak butuh bunga
Karena wangi tak mampu memadamkan lapar
“Dira!”
Merasa dipanggil, gadis itu menoleh cepat ke arah suara. Sesosok pria berbadan tegap dan berambut pendek tebal berdiri beberapa meter di belakangnya. Pandangannya seolah-olah menunggu Dira berlari menggapai dekapannya. Namun, yang diharapkan untuk menghampiri justru terpaku di tempat dengan tatapan penuh gemap.
Laki-laki itu maju mendekati Dira yang tengah susah payah memasang senyum palsu. “Ke mana aja kamu, Nak? Papa sama Mama telepon dari Kamis, nggak diangkat,” tanyanya khawatir.
Bukannya menjawab, Dira memajang tampang tidak mendengar suara ayahnya akibat suara bising kendaraan. “Papa kok ke sini? Kan jauh. Nggak sama Mama sama adek-adek?” ia malah balik melontarkan pertanyaan.
Ayah Dira terdiam. Ekspresi senang anaknya yang tampak dibuat-buat itu tercium olehnya sebagai sesuatu yang tidak beres. Pria itu menghela napas, lalu mencoba bertanya dengan lebih tenang, “Dira, Dira kenapa? Kok mukanya pucet gitu, Nak? Lagi sakit?”
Dira mulai gelagapan. Dia tahu demamnya belum sepenuhnya pergi. Ditambah lagi, bunyi perutnya semakin terasa bergemuruh. Lambungnya pun mulai nyeri.
“Belum sarapan, Pa,” jawab Dira, setelah sekian lama akhirnya mengucapkan apa yang sesuai dengan kenyataan di depan ayahnya.
“Ya Allah, Dira… bukannya kamu punya uang hasil bisnis?”
Keringat dingin semakin membasahi kening Dira. Ia kehabisan ide untuk apa yang harus dikatakan untuk menutupi kenyataan bahwa ia sedang sangat kekurangan. Akhirnya, meluncur juga kebenaran dari bibirnya,
“Dira nggak ada bisnis, kok, Pa.”
Memalukan. Itulah yang selalu Dira rasakan setiap kali ketahuan berbohong di depan ayahnya. Namun, karena merasa terdesak oleh tatapan pria itu yang merupakan campuran dari perasaan kaget sekaligus iba, mengalirlah dari mulut Dira segala cerita tentang kondisi melaratnya. Meski agak kecewa dengan putrinya yang berani berdusta, ayah Dira berusaha menyimak ungkapan hati anak sulungnya itu dengan seksama, sampai Dira berhenti bicara dengan wajahnya mengarah ke tanah.
Setelah menarik napas pelan, bertanya lagi ayah Dira, “Kenapa Dira nggak mau pulang?Kalau kuotanya habis, kan bisa bilang ke ibu kos kalo mau kabari Papa Mama.”
Gadis itu menelan ludah. Hanya ini yang belum ayahnya tahu, tentang alasannya tidak berharap sama sekali untuk dijemput. Ketika sedang dilema untuk bicara jujur atau tidak, sesuatu yang dapat dijadikan alasan tiba-tiba terbesit dalam pikirannya.
“Masih ada tugas ekskul sama kerja kelompok, Pa. Kalo di rumah kan susah ke sekolahnya,” ujarnya.
“Duh, kan bisa bilang ke temannya kalo sakit?”
“Nggak enak, Pa.”
Papa Dira geleng-geleng kepala, namun tak memudarkan senyum di wajahnya. “Ya udah, tapi sekarang Dira pulang dulu, ya? Kita sarapan bubur ayam yang Dira suka banget itu.”
Dira tertegun. Akhirnya, yang ia hindari selama ini menghampirinya juga. Bicara jujur tidak mengubah keinginannya. Jika ia menyanggupi, kebebasannya akan direnggut. Meski mengabdi kepada keluarga bukan masalah besar, namun hatinya tidak akan bebas oleh beban merepotkan orang tua.
“Ayo, Mama sama adek-adek udah nungguin, lho.”
Tapi, setidaknya orang tua Dira masih rela direpotkan. Bahkan mereka lebih suka direpotkan daripada terpisah jauh dengan anak mereka dalam waktu yang lama. Kalau dipikir-pikir, ia akan semakin merepotkan jika bersikeras untuk tetap tinggal di indekos sampai waktu yang tidak pasti.
Dira pun menarik napas, memutuskan, “Ya udah, Pa. Dira ambil barang-barang dulu yang mau dibawa ke rumah.”
* * *
Dira menolak bantuan ayahnya untuk membawa barang, dan menyarankan agar ayahnya memindahkan mobilnya yang semula diparkir di minimarket ke tempat yang lebih dekat dengan tempat Dira. Gadis itu masih menimbang-nimbang. Baris-baris baru untuk melengkapi bait puisinya berdatangan selama ia meniti tangga menuju kamarnya,
Karena di tanganku hanya ada kebun tandus
dan kembang tanpa warna dari tanah nan kersang
Tak perlu kau tawarkan kebun warna-warnimu
yang dapat merenggut kepuasan kalbuku
Tangan kurus Dira meraih gagang pintu, memperlihatkan ruangan yang penuh rambut rontok dan sampah berserakan di baliknya. Tentu saja Dira tak akan membiarkan ayahnya melihat pemandangan ini.
Dira masuk ke kamarnya, menutup pintu. Tubuhnya tak bergerak untuk memasukkan barang-barang ke dalam tas, namun malah diam di depan ranjang. Tatapan kosongnya bersiap untuk menyimbolkan salam perpisahan kepada kebebasannya—yang setidaknya akan direnggut sementara.
Namun, rupanya hati Dira menolak untuk bersedia. Ia tak kuasa menyerahkan diri pada tekanan-tekanan itu lagi. Meski begitu, separuh kecil dari perasaannya terus membujuk untuk pulang dan menerima semuanya. Dira mencoba memejamkan mata untuk menghilangkan segala pikiran negatif yang tak berhenti mengganggunya.
Mata Dira langsung membeliak ketika terbuka kembali. Kasur dengan seprai lusuh di depannya kini menjelma menjadi kasur empuk dengan seprai pink-putih elegan, lengkap dengan bed cover serta bantal yang diisi bulu angsa bersarung sutera. Dira tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia pun mengerjap beberapa kali, namun dua meja kecil berwarna putih dengan lampu tidur di atasnya malah muncul di kedua sisi ranjang mewah itu. Dira semakin tercengang, kali ini mengucek matanya, tetapi dinding polos di belakang tempat tidur malah berubah menjadi jendela besar dengan tirai dobel yang dipasang dengan indah. Dinding yang lain pun mendadak dilapisi dengan kertas dinding yang senada.
Dira makin terkejut. Tanpa melakukan apa-apa, tiba-tiba muncul lampu chandelier emas di atas kepalanya. Ketika memutar badan, meja belajarnya yang berantakan berubah menjadi meja putih dengan vas bunga di atasnya. Bahkan ransel sekolahnya pun berubah menjadi tas bermodel elegan dan tampak bermerk mahal. Setelah mendapati seisi kamarnya berubah total, Dira tersentak menyadari dirinya juga ikut berubah. Jaket jingga dan rok yang dikenakannya perlahan berganti menjadi gaun sutera dengan sentuhan pink-putih lembut yang membuatnya tampak seperti seorang putri.
“Bagaimana bisa kamu merelakan kebebasanmu dan memilih disiksa? Kau malah membuang sebuah istana!”
Dira mengucapkan sendiri kata-kata yang seolah-olah terdengar di kepalanya. Air mata gadis itu berderai, seiring dengan tubuhnya yang ia hempaskan ke kasur empuk itu. Wajahnya basah oleh perasaan campur aduk, antara menyesal dan bahagia. Bersamaan dengan itu, baris terakhir dari puisi Dira tertulis di otaknya,
Karena akulah si kucing itu
Sesuatu terlintas di benak Dira, meralat bahwa tadi itu adalah baris terakhir. Ia menambahkan satu lagi baris yang benar-benar mengakhiri puisinya,
Tidak: aku seorang putri!
* * *
“Dira. Bangunlah. Sampah di kamarmu sudah bertahun-tahun tidak dibuang.”[]
12 November 2021