A Hundred Teleportation – Volume 1 Bab 4 – Tempat Kejadian Perkara

Fauzi Wong F
136 pengunjung

Dari ujung cakrawala, matahari telah memamerkan keanggunannya. Aku terbangun dari tidur yang nyenyak. Meskipun di antah berantah, kami merasa aman karena telah melatih kemampuan kami. Menurut peta ini, tidak lama lagi kami berempat akan bertemu dengan Sungai Kura, sungai yang digunakan sebagai pembatas padang pasir dengan padang hijau. Sungai ini terkenal panjang, para pedagang memanfaatkannya sebagai jalur perdagangan antar kota hingga negara. Bagaimana aku mengetahui hal ini? Ya karena aku belajar di tempat Pak Harun, hehe.

 

“Oh, kalian sudah bangun.” Mereka semua bangun satu persatu dari tidur mereka.

 

“Kalian masih kuat, kan?”

 

“Hoam, ya, tentu….” Ucap Cantika. Setelah ia mengatakan itu, ia kembali tertidur.

 

Arnold terbangun dengan segarnya dan menanyakan kondisi persediaan kami, “bagaimana dengan persediaan kita, masih sisa?” Arnold bertanya sambil mematikan api unggun.

 

“Yup, kita masih memiliki sisa banyak.” jawabku.

 

Entah sudah berapa hari kami meninggalkan Desa Hakar. Meski begitu persediaan kami masih tersisa lumayan banyak. Persediaan ini sudah seperti  ransum tentara versi dunia ini.

 

Setelah sarapan kami tidak ingin membuang-buang waktu, Kana menyarankan kami agar langsung bergerak, “udah yuk, kita lanjut jalan.”

 

Sudah beberapa kilometer kami lalui. Dari jauh aku melihat banyak perahu terparkir. Aku juga melihat orang-orang yang terlihat seperti membawa kotak-kotak dan kantong-kantong besar. 

 

“Lihat Yuuya, kita sudah sampai ke sungai itu!” Seru Arnold sambil menunjuk ke sungai yang ada di peta.

 

“Iya-iya aku tau.”

 

Kami semua tersenyum, perjalanan ini membawakan hasil. Semakin kami dekati, semakin terlihat jelas penampakan dermaga itu. Tempat dimana orang-orang memarkirkan perahu mereka. Orang-orang bercengkrama dan bertransaksi di seberang sana. Mereka bertransaksi di pinggiran sungai, memanjang mengikuti alur sungai. 

 

“Siang pak!” Sapaku kepada bapak-bapak yang sedang berdagang. Bapak ini kurus dan memiliki jenggot yang tebal. Dia terlihat seperti seseorang yang jago berdagang.

 

“Ada apa nona muda? Kalian pasti pendatang baru ya?”

 

Ack, nona muda. Ini pertama kalinya aku dipanggil seperti itu.

 

“Iya pak, saya ingin pergi ke kota …… Apakah di sini ada yang bisa mengantarkan kami dengan perahu?”

 

“Kalian lihat orang itu?” Bapak ini menunjuk ke arah orang yang sedang memarkirkan kapal di dermaga.

 

“Dia bisa mengantar kalian dengan kapalnya. Dia anak baru di sini, seharusnya dia tidak terlalu sibuk sekarang.”

 

Kami berterima kasih lalu langsung menghampiri nahkoda baru itu.

 

“Hey tunggu nona.” Sebelum kami pergi bapak itu memanggil, tanganya mengkode meminta bayaran.

 

“Uang informasi,” kata bapak itu.

 

“Arnold urus sana,” kataku.

 

“Kenapa harus aku?” Kami bertiga meninggalkan Arnold.

 

“Woy!”

 

“Permisi bang, apakah kamu bisa mengantar kami menuju kota dengan perahumu?” Pria ini terlihat muda, mungkin masih SMA.

 

“Eh, iya dek. Bisa-bisa.”

 

“Dek?” Ucapku dengan kesal. Di belakangku aku mendengar Cantika cekikikan sendiri.

 

“Sudah-sudah jangan marah begitu,” katanya.

 

“Ah maaf salah ya haha….” Pemuda itu terlihat grogi.

 

“Berapa bayaran untuk sampai ke kota?” Tanya Cantika.

 

“tiga perak sudah cukup.”

 

“Untuk kami semua?”

 

“Iya, satu orang satu perak.” Oh iya kami melupakan Arnold dibelakang. 

 

“Tambah satu orang yang disana deh bang.”

 

“Ah baik. Jadinya empat perak.”

Aku menyeret Arnold yang sedang ditahan dan melemparkan dua koin perak kepada bapak berjenggot tadi. Kami lalu bersiap-siap menaiki perahu yang sudah disiapkan oleh mas-mas nahkoda. Perahu berjalan perlahan menjauhi dermaga kecil. Beberapa saat kemudian nahkoda itu bertanya kepada kami.

 

“Kalian tadi datang dari arah padang pasir, apakah kalian berasal dari desa Hakar?” Tanya si nahkoda.

 

“ya, bisa dibilang seperti itu,” jawabku.

 

“Bisa dibilang? Jarang sekali ada orang dari Desa Hakar, bahkan aku belum pernah melihat orang dari Desa Hakar.”

 

“Wah ikan apa itu?” Arnold melihat ikan yang memiliki jarum di mulutnya dan berekor seperti ubur-ubur.

 

“Itu ikan Magoda, mereka sering ditemui di sungai perbatasan padang pasir dan padang hijau. Apakah kalian baru pertama kali melihat ikan ini?” Ikan itu bentuknya benar-benar aneh. Bagaimana bisa ikan dengan bentuk seperti ini hidup di lingkungan seperti ini?

 

“Iya, ini pertama kalinya bagi kami melihat ikan ini.”

 

Ini benar-benar dunia lain. Segala hal yang belum pernah ku lihat ada di depan mataku. Ikan-ikan itu berlompatan mengikuti arus sungai yang deras. Hal baru apa yang akan menanti kami? Aku akan menggali lebih banyak informasi, mungkin dengan sedikit tambahan pengalaman. Namun, aku tetap harus mencari informasi mengenai teleportasi, mungkin beserta dalang dibaliknya, jangan termakan enaknya dunia lain. Kami melanjutkan perjalanan menyenangkan ini dengan lantunan suara Kana yang sedang bernyanyi, suaranya sangat merdu. Dia memang mahir bernyanyi, tetapi suara yang dia miliki sekarang jauh lebih merdu. Pacarnya siapa dulu dong. 

 

Kira-kira setengah jam telah berlalu, ikan-ikan itu tidak lagi mengikuti kami. Sungai ini telah memasuki wilayah padang hijau. Di sekeliling kami hanya ada hamparan rumput hijau yang sangat amat luas. Setengah jam lagi berlalu, mas nahkoda menyuruh kami turun.


“Eh, kenapa kita berhenti di sini?” Tanyaku.

 

“Di depan sana terdapat air terjun, kalau diteruskan nanti kita akan jatuh.”

 

“Gapapa mas jatuhin aja, biar seru.” Kata Cantika.

 

“Biar seru pala kau!” Balas Arnold.

 

Mas nahkoda tertawa kecil. Aku melihat jalan setapak yang ada di bawah tempatku berdiri.

 

“Apakah dari sini kita harus berjalan?”

 

“Iya, ikuti saja jalan setapak itu ke sana.” Mas nahkoda menunjuk ke arah kota yang ada di ujung pandangan kami. Hanya ada padang rumput yang luas dan kota kecil itu.

 

“Berapa lama kira-kira perjalanannya?”

 

“satu hari satu malam jika berjalan. Ya, kalau beruntung kalian bisa menumpang ke kereta kuda orang yang lewat.”

 

“Baiklah, ini bayaranmu. Terima kasih untuk tumpangannya.”

 

Sepertinya kami harus berjalan lagi, yah kami sudah terbiasa sih. Makanan kami juga masih banyak jadi tidak apa-apa bagi kami untuk berjalan sedikit lagi. Baru beberapa langkah, kami menemukan makhluk mungil di depan kami.

 

“Hey apakah itu slime?” Tanya Arnold.

 

“Tidak salah lagi,” jawabku. Slime itu berwarna biru transparan seperti jelly rasa mint. Tiba-tiba Cantika datang dari belakang, lari secara brutal dan memukul slime itu dengan busurnya.

 

“Woy, gunakan busur mu dengan benar!” Arnold memperingatkan.

 

“Slime mungil, hiks,” isak Kana

 

Slime? Bahannya digunakan untuk apa ya? Aku tidak tahu untuk apa slime ini. Dari yang aku baca, cairan slime hanya digunakan untuk melarutkan bahan obat-obatan dan tidak ada yang lain. Oh iya, ini menjadi pembunuhan monster pertama kami. Kana memungut bahan slime itu, siapa tau bisa berguna suatu saat. Padang pasir memang biasanya dihuni oleh para monster level rendah, seperti slime atau bahkan tidak ada monster sama sekali. Apakah mereka pantas diberi nama monster? Mereka bahkan hanya memakan rumput sebagai konsumsinya. 

 

Kami melanjutkan perjalanan kami. Hanya melihat padang rumput, aliran sungai kecil, dan beberapa pohon. Mungkin bagi orang setempat perjalanan ini terasa biasa, tetapi bagi kami ini terasa seperti perjalanan healing saat libur semester. Kira-kira dua jam kami berjalan, ada suara yang datang dari belakang kami.

 

“Apa itu man?” tanya Cantika.

 

Mobil? Tidak, tidak mungkin ada mobil di dunia ini. Benda itu semakin mendekat, semakin jelas bentuknya. Kereta kuda? Lumayan cepat juga untuk sebuah kereta kuda, sampai salah mengira kalau itu adalah sebuah mobil. Cantika yang sadar langsung menyuruhku mencegat kereta itu.

 

“Yuuya, cepat cegat kereta itu!” 


“Pak, pak, pak, tolong berhenti!”

 

Kereta itu berhenti tepat di depanku. Untung aku tidak tertabrak olehnya.

 

“Ada apa dengan kalian?! Apa kalian tidak melihatku sedang terburu-buru?!” Supir kereta ini membuat muka marah. Sepertinya ia terburu-buru membawa barang dagangannya yang ada di dalam kereta menuju ke kota.

 

“Permisi pak, Apakah bapak ingin menuju ke kota?”

 

“Kalau iya kenapa?”

 

“Bolehkah kami menumpang? Kami dan bapak mempunyai tujuan yang sama.”

 

“Tidak boleh! Kalian membuang waktuku saja. Cepat minggir!”

 

“Ehem.” Cantika melempar uang koin emas ke bapaknya. Bapak itu melihat dan wajahnya berubah seketika.

 

“Nah kalau seperti ini bisa bapak pertimbangkan. Masuk saja ke kereta, buat diri kalian nyaman.”

 

Kami duduk diantara barang dagangan yang dibawa oleh bapak itu. Kereta kuda ini sangat tidak stabil, tidak seperti mobil yang nyaman untuk dikendarai. Ban masih belum ditemukan di dunia ini. Tapi itu semua terbayarkan, kami mencapai kota sebelum matahari tenggelam. Sama seperti petualang lainnya, kami harus menemukan penginapan terlebih dahulu. Meskipun kami diberi uang saku yang cukup banyak oleh Pak Harun, tetapi kami tetap harus meminimalisir pengeluaran kami dengan mencari penginapan yang murah. Mau cari penginapan murah? Tenang, ada tr*vel*ka. Eh bentar ini bukan promosi ya. Lagian hal semacam itu belum ada di dunia ini.

 

“Berhenti di sana nona.” Seorang penjaga mencegatku di depan gerbang.

 

“Kalian tidak bisa masuk begitu saja, tunjukkan tanda pengenal kalian!”

 

“Mereka pegawaiku biarkan mereka masuk, tenang saja.” Pak supir sepertinya tidak mau repot, ia melontarkan kata-kata tersebut seakan ia mengenal si penjaga.

 

Pak supir menghentikan keretanya di depan toko.

 

“Hei, kalian boleh turun. Tolong sekalian barangnya taruh di depan pintu saja.”

 

Kenapa kami malah menjadi tukang antar barang sekarang?

 

Ahhh capeknya, setelah perjalanan panjang malah jadi tukang antar barang. Pokoknya terima kasih deh sama bapak itu. Kalau tidak ada bapak itu kami pasti bakal lebih kecapekan. Hmm, satu hal yang aku sadari bahwa bangunan di sini seperti bangunan eropa zaman medieval. Ini seperti komik fantasi murahan yang biasa aku baca setiap hari. Omong-omong sepertinya kami telah terbiasa hidup tanpa menggunakan smartphone kami. Lagipula smartphone tidak bisa digunakan di dunia ini. 

 

Singkat cerita, aku menyuruh Arnold dan Cantika untuk mencari penginapan. Sementara itu aku dan Kana mencari tempat untuk makan malam. Kami janji untuk bertemu di alun-alun kota sekitar pukul tujuh malam saat para petualang biasa pulang dari perburuannya. Di kota ini memiliki banyak petualang, mereka biasa pulang ke kota pada pukul tujuh malam, jadi itu bisa dijadikan penanda waktu. Dari mana aku tahu hal tersebut? Ya benar, aku sudah mempelajari budaya tempat ini sebelumnya. Belajar merupakan hal penting kawanku, jangan lupakan itu. Belajar ya, aku sepertinya memang harus lebih mempelajari dunia ini, besok pagi aku akan pergi ke perpustakaan kota ini, mencari literasi mengenai teleportasi tentunya. Untuk besok kami akan istirahat seharian. Kota ini cukup besar untuk dijelajahi sendirian. Mungkin lusa aku akan mengajak teman-temanku untuk berjalan-jalan ketika mereka sudah segar kembali.

 

Aku sudah berada di depan perpustakaan kota. Tempat ini kecil sekali, lebih seperti toko buku dibandingkan perpustakaan. Setidaknya mereka menyediakan tempat untuk membaca buku. Kota ini memiliki ciri khas dalam berburu dan berpetualang dibandingkan ilmu pengetahuan dari buku-buku yang membosankan.

 

Aku mengambil banyak buku mengenai sihir dari rak-rak yang ada. Orang-orang melihatku dari luar jendela. Aku tidak memperdulikan hal itu, yang terpenting adalah aku akan menggali berbagai macam jenis sihir dan aura yang ada di dunia ini. Aku yakin mereka berhubungan dengan sihir teleportasi. 

 

“Permisi nona, tolong bangun. Ini sudah waktunya kami tutup,” ucap seseorang yang tak ku kenal.

 

Aku kebingungan dalam keadaan setengah sadar. Huh, sejak kapan aku ketiduran? Perasaan aku tadi masih membaca buku. Rupanya yang membangunkanku adalah penjaga perpustakaan ini.

 

“Anu, apakah aku bisa membawa buku-buku ini bersamaku?”

 

“Maaf, kalau segunung buku itu jelas tidak diperbolehkan. Kamu boleh meminjam satu atau dua buku saja.”

 

Benar juga, kalau aku bawa semua maka perpustakaan ini akan kekurangan buku. Perpustakaan ini juga hanya memperbolehkan meminjam untuk satu hari saja.

 

“Baiklah, aku akan meminjam buku sihir ini dan buku manual berburu ini saja.”

 

“Baiklah, selamat membaca~”

 

Wah, tanpa aku sadari matahari sudah mulai tenggelam. Padahal masih banyak buku yang ingin ku baca. Tetapi tidak apa, besok aku akan kembali meminjam lagi. 

 

“Minggir!”

 

Seseorang serba hitam yang membawa pedang dan berpakaian pakaian petualang berlari ke arahku. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Aku tidak bisa menghindar, ini terjadi terlalu cepat padahal aku baru saja bangun dari tidur.

 

“Ow-ow, sakit.”

 

“Maaf!” Ia kembali berlari tanpa memperdulikanku, tidak lama kemudian muncul dua orang yang berlari mengejar orang serba hitam itu.

 

“Woy! Berhenti kau pencuri!”

 

Sebelum mereka berbelok ke dalam sebuah gang, aku melihat sekilas apa yang ada di pergelangan tangan si pencuri. Sebuah jam tangan warna hitam, apakah jam tangan sudah ada di dunia ini? Atau dia adalah salah satu dari kami? Seorang yang berteleportasi. Entahlah, aku harus pulang dan melanjutkan bacaanku.

 

Hari telah berganti, seperti yang ku rencanakan sebelumnya, aku ingin mengajak teman-temanku berjalan-jalan di kota. Mereka mengiyakan ajakanku. Kami akan berkeliling kota mulai dari penginapan ini dan kembali pada sore harinya. Penginapan kami dekat dengan alun-alun, jadi mudah bagi kita untuk mengingatnya. Kami sudah berkeliling kota ini dari pagi sampai siang, kota ini benar-benar besar untuk kota pemula. Kami bahkan belum berkeliling setengah kota ini. Setelah melihat-lihat kota ini memiliki beberapa bagian yang mirip dengan kota-kota di Eropa, seperti gang dan bangunannya. Ini seperti kami liburan ke Eropa dengan biaya nol.

 

“Hey, bagaimana kalau kita makan siang terlebih dahulu?” Cantika mengajak kami makan. 

 

Benar juga, ini juga sudah siang. Ia menunjuk ke restoran pinggir jalan itu, tempatnya ramai tetapi sepertinya tidak perlu antri. Jadi aku mengiyakan ajakannya. Berbagai jenis makanan hadir di meja kami. Namun, aku merasa ada hal yang janggal. Aku merasa ada yang melihati ku di sini, tetapi di mana? Seseorang membaca menu dari mejanya, ia menutupi wajahnya dengan menu itu. Di pergelangan tangannya terdapat…. Jam tangan? Jam tangan berwarna hitam dengan warna emas sebagai aksennya.  Apakah dia orang yang kemarin menabrakku? Kenapa ia mengikutiku?

 

“Yuuya? Kenapa kamu enggak makan?”

 

Penguntit itu menurunkan menunya dan menatapku. Aku membuang pandanganku dan memakan makananku. Memang benar, sepertinya ia adalah orang yang kemarin. Aku mendengar suara langkah kaki mendekati meja makan kami. Tolong jangan kemari, aku tidak mau berurusan dengan pencuri. Tuhan tolong aku!

 

“Hai manis.”

 

“Bweh!”

 

“Bweh?”

 

Dia berpose seperti sedang menggodaku, meletakkan tangan kirinya di meja dan mencondongkan badannya ke arahku.

 

“Yuuya, apakah dia kenalanmu?” tanya Arnold.

 

“Ti- tidak, aku tidak kenal siapa dia.” Aku membuang pandanganku ke jendela. Sumpah, aku tidak ingin berhubungan dengan pencuri!

 

Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya dan memegang daguku secara lembut, pandanganku berpaling kepadanya. Kana yang ada di depanku berdiri dan kedua tangannya menghantam meja. Semua orang melihat meja kami. 

 

“Hei hei tenang saja nona, aku tidak akan aneh-aneh dengan temanmu.” 

 

“Siapa kau?!” Kana bertanya sambil mengerutkan dahinya.

 

“Apakah kamu benar-benar melupakan temanmu sendiri, Kana?”

 

Bagaimana ia bisa tahu? Tunggu, jam tangan itu, apakah dia….

 

“Nona-nona sekalian, perkenalkan. Aku adalah Rian, Kamari Rian.”

 

“Ka-Kamari Rian?!”

 

Salah satu orang yang benar-benar tidak ingin aku ajak bicara saat kuliah. Dia orang aneh, selalu bertingkah lebay. Meskipun banyak yang tidak menyukai dirinya, tapi dia tidak pernah kena rundungan, toh dia anak orang kaya. jam tangan itu juga pasti punya harga yang sangat mahal.

 

Keluarga Kamari, keluarga yang mendirikan sebuah perusahaan PT Kamari. Aku tidak tahu lebih lanjut mengenai perusahaan itu. Aku tidak ingin mengetahui lebih lanjut orang yang tak kusukai. Dari awal orang ini sudah memiliki hawa yang tidak mengenakkan. Penampilannya berubah drastis, sebelum berteleportasi ia memiliki tubuh yang gemuk, yah namanya juga anak orang kaya. Sekarang ia menjadi karakter cowok ramping, tingginya pun sedikit lebih tinggi daripada Arnold. Ia memakai headband di dahinya, serta rambutnya yang hitam membuatnya cocok dengan headband hitamnya. Ah sial!! Kenapa aku tidak berubah seperti dia!! Benar-benar tipe tokoh utama karakter isekai!

 

“Ada apa, Yuuya? Kenapa kamu terdiam? Apakah kamu jatuh cinta kepadaku?”

 

“Huh, mana ada! Aku nggak jomok!!”

 

“Tapi kamu menjadi imut sekarang.”

 

“Ehem!!” Kana melihat Rian dengan amarah yang tak terbendung.

 

“Hey penggoda, dari mana kau bisa tahu kalau dia adalah Kana? Padahal wujud kita benar-benar berubah 180 derajat dari wujud kita sebelumnya.” Apa yang ditanyakan Arnold benar juga. Bagaimana dia bisa tahu? 

 

Penggoda ini mengambil kursi dan membalikkannya, duduk dengan kami dengan sombongnya.

 

“Mudah saja, awalnya aku menabrak seorang gadis. Tanpa sengaja aku melihat gantungan kunci itu.” Ia menunjuk ke gantungan kunci yang ada di pinggang sebelah kiri ku.

 

“Dari situ aku sadar kalau dia adalah Yuuya, dan kamu yang memiliki gantungan kunci warna putih itu. Kamu sudah pasti Kana.”

 

Sejak kami berkuliah kami memang sering memakai gantungan kunci ini sebagai lambang kesetiaan kami. Kalau sekarang mungkin digunakan sebagai tanda pengenal yah. Sekarang, bagaimana dia akan mengenali Cantika dan Arnold?

 

“Kalau kalian berdua…. Ummm, gatau deh.”

 

“Woy! Ini aku loh, Cantika!”

 

“CANTIKA YA? Kamu jadi cowo sekarang? HAHAHA. Gimana rasanya ada gajah di bawah situ?” Lalu ia melirik ke arah Arnold yang ada di sebelahku.

 

“Di situ ada Yuuya, di situ ada Arnold. Benar?”

 

Siapa sangka orang aneh ini punya kemampuan deduksi yang bagus, sangat bagus malah.

 

“Lalu, apa urusanmu kemari? Apakah kau hanya ingin menggoda kami?”

 

“Ya benar!”

 

Hah? Orang ini benar-benar aneh.

 

“Tapi tenang saja, aku datang untuk memperkenalkan diriku. Kalau kalian butuh bantuan aku akan selalu ada di kota ini. ”

 

“Tidak terima kasih! Kami tidak ingin berhubungan dengan pencuri!”

 

“Pencuri? Tidak-tidak, kamu salah paham. Aku memang mencuri, tetapi aku mencuri dari pencuri. Aku disewa oleh seseorang yang membutuhkan bantuanku.”

 

“Apa maksudnya itu?”

 

Jadi, intinya dia memang seorang pencuri, tetapi dia mengembalikan barang yang telah dicuri oleh seseorang sebelumnya.

 

“Bagaimana caraku mendapatkan kepercayaan dari kalian? Aku akui aku memang aneh tapi aku tidak jago berbohong. Aku orang baik-baik kok.”

 

Aku berdiskusi dengan teman-temanku. Mereka sepertinya juga percaya dengan perkataan Rian. Memang benar, saat kita masih di dunia sebelumnya ia juga belum pernah berbohong sama sekali. Meskipun begitu aku masih ragu dengannya, apalagi dengan sikapnya yang freak seperti itu.

 

“Oh begini saja, aku punya ide!” Rian mengatakan itu secara tiba-tiba.

 

“Apa idemu huh?”

 

“Tempo hari aku mendatangi dungeon yang ada di hutan utara. Tempatnya tidak jauh dari sini. Dungeon itu jarang dimasuki oleh orang. Saking sepinya, akhirnya digunakan oleh para pencuri bersarang. Nah, masalahnya ada di sini nih, barang yang dicuri oleh para pencuri itu adalah barang curian dari customer ku. Aku tidak bisa melawan mereka sendirian, jadi bisakah kalian membantuku?”

 

“Apa untungnya buat kami?”

 

“Jika kalian berhasil menang melawan mereka, kalian boleh mengambil barang jarahan mereka. Tidak ada hukumnya kok mengenai mengambil barang rampasan. Jadi, bagaimana?”

 

“Yuuya, ayo kita bantu dia saja. Toh uang yang diberikan Pak Harun pasti menyurut.” Arnold berbisik kepadaku.

 

“Iya, Yuuya, aku juga ingin jajan.” Cantika menambahkan.

 

“Arrrggghhh baiklah!”

 

“Besok, pada pagi hari saat bel kota berdentang, akan kutunggu kalian di depan pintu masuk kota. Dadah.”

 

Rian pergi begitu saja. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan persoalan uang. Teman-temanku yang mendesakku membuatku melakukannya.

 

Keesokan harinya, kami telah menyiapkan senjata kami masing-masing. Sesuai janji, kami bertemu dengan Rian di depan pintu masuk kota saat bel kota berdentang. Kami menuju hutan yang ditunjukkan oleh Rian.

 

“Di sana hutannya, cukup dekat bukan?”

 

Jauh di belakang hutan, ada pemandangan gunung salju yang sangat besar. Aku belum pernah melihat Gunung Everest secara langsung, apakah Gunung Everest juga sebesar itu? Selain hutan dan gunung, sisanya hanyalah hamparan rumput hijau.

 

Singkat cerita kami telah sampai ke dalam hutan. Hutan ini memang tidak jauh, kira-kira hanya satu jam berjalan kaki. kami memasuki hutan ini lebih dalam. melewati sungai kecil dan berbagai bebatuan. Tidak ada jalan setapak di sini, semua serba alami.

 

“Hey lihat!” Cantika menunjuk ke arah goa. Mulut goa tersebut terbuat dari batu berwarna hitam, sepertinya terbuat dari batu andesit, dan memiliki tangga ke arah bawah di dalamnya. Apakah ini dungeonnya?

 

Kami memasuki dungeon ini secara perlahan, Rian yang sudah terbiasa dengan hal ini masuk dengan santainya. 

 

“Rian, apa kamu yakin ini aman? Tidak ada jebakan atau apapun kan? Gelap sekali di sini,” ucap Kana.

 

“Tenang saja, ini dungeon yang sudah lama ditinggalkan, aku juga sudah pernah masuk ke sini jadi tidak apa-apa.”

 

Kami masuk semakin dalam, tangga ini juga tidak ada habisnya. Setelah beberapa menit menuruni tangga akhirnya kami melewati jalan yang datar. Semakin dalam semakin gelap pula dungeon ini. Kenapa dari tadi kita tidak menggunakan senter atau obor di sini?

 

“Hey Rian.”

 

“Hmm?” 

 

“Kenapa dari tadi kita tidak menggunakan penerangan? Ini semakin gelap tahu!”


“Kalau kita memakai penerangan kita akan ketahuan oleh para pencuri lah. Lagian kita juga tidak memerlukan itu.”

 

“Tapi kita hampir tidak bisa melihat apapun!”

 

“Sebentar.”

 

Rian meraba-raba dinding seakan mencari sesuatu.

 

“Ah ketemu!”

 

Rian memukul dinding. Jalan yang gelap berubah menjadi terang seketika. Tembok di sini berubah menjadi lampu berwarna dingin yang menerangi jalanan. Sebentar, memangnya tembok bisa menyala?

 

“Bukan temboknya yang menyala, mereka adalah serangga. Mereka bereaksi oleh getaran yang diakibatkan oleh pukulanku tadi.”

 

Wow keren! Ehem! 

 

“Bukannya kita malah ketahuan kalau seperti ini?”

 

Rian terlihat santai saja.

 

“Enggak lah, serangga itu kadang juga menyala secara alami. Jadi mereka ga akan mengira ada penyusup di sini. 

 

Fokus ke pencarian. Sepertinya Cantika menyadari sesuatu di depan.

 

“Ada persimpangan di sana! Kita harus lewat mana?”

 

“Lurus saja, nanti ada jalan menurun. Seharusnya para pencuri itu ada di sana.”

 

Disaat kami sudah bisa melihat jalan menurun terdapat sebuah bayangan yang menuju ke arah kami.

 

“Sembunyi!”

 

Kami bersembunyi di balik persimpangan. Berharap orang dari bayangan itu tidak melihat kami. Lalu kami berbisik.

 

“Rian apa kau bisa melakukan sesuatu?”

 

“Tidak banyak, kemampuan ku yang berguna untuk hal ini hanya stealth. Tapi hanya bisa digunakan oleh ku saja.”

 

“Kalau begitu ayo kita langsung sikat saja.” Seperti biasa Cantika yang bersemangat ingin langsung menghajarnya.

 

“Jangan bodoh, apa kau mau dia memanggil rekannya yang lain? Dia tidak sendiri tahu!”

 

“Yuuya, bagaimana?”

 

Sekilas aku mengingat latihan yang diberikan oleh Pak Harun.

 

“Kana, tolong ambilkan batu yang ada di belakangmu.”

 

“Hey, apakah itu akan berhasil?” tanya Rian.

 

“Lihat saja.”

 

Fokuskan aura ke tanganmu, Yuuya. Teknik melempar akan mempengaruhi akurasi, dan aura akan menambah kecepatannya. Tiga, dua, satu!

 

“Ada pe- bwuahak!”

 

Pencuri itu langsung terkapar di lantai. Sepertinya tembakanku mengenai tepat di kepalanya.

 

“Apakah dia mati?”

 

“Entahlah.”

 

Kami mendekati tubuh si pencuri. Ia tak sadarkan diri. Rian memegang tangannya.

 

“Dia hanya pingsan. Ayo kita lanjut ke bawah.”

 

Kami melanjutkan pencarian ini. Rian sepertinya melihat sesuatu di bawah, sebuah goa dengan sekumpulan orang di dalamnya. Ada sebuah api unggun di sana dan di belakang  orang-orang tersebut ada banyak barang di belakang mereka.

 

“Kira-kira ada lima orang di sana. Rian, bagaimana rencananya?”

 

“Langsung kita sergap saja.” 

 

“Jangan!” Aku menolak saran Cantika yang sedang bersemangat.

 

“Cantika dan Yuuya, kalian ke arah kiri. Kana dan Arnold ikut aku. Jumlah kita dengan pencuri itu sama, kita bisa takedown mereka secara bersamaan.”

 

“Iya, aku pikir ini akan berhasil.”

 

Kami menempatkan diri masing-masing, mengendap-endap dari bayangan. Aku sudah mengambil batu dan siap untuk melemparkannya. Rian memberi aba-aba. Cantika siap dengan busur dan panahnya, Kana siap dengan sihirnya, Arnold siap menyergap dengan pedangnya, dan Rian siap dengan pedangnya. Kami menunggu beberapa saat, dannn SET! Rian menurunkan tangannya.

 

Batuku mengenai kepala pencuri.

 

Arnold turun dan langsung membelah punggung pencuri.

 

Panah cantika mengenai pundak dan perut pencuri.

 

Kana melempar buku sihir ke kepala pencuri dan langsung turun untuk merapalkan sihir listriknya. 

 

Rian menghantam kepala pencuri menggunakan bagian bawah pisau untuk membuat si pencuri pingsan.

 

“Kalian sudah terbiasa membunuh orang?!”

 

“Apa? Bukankah kamu yang menyuruh kami untuk meng-takedown mereka?”

 

Kalau dipikir-pikir ini memang pertama kalinya kami membunuh orang. Yahhh membunuh pencuri rasanya sama seperti membunuh monster. Mereka tidak berbeda menurutku. Pencuri di dunia ini mereka tidak segan membunuh atau menyakiti korban untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka biasa mencuri dari luar kota lalu menjual barang curian mereka di suatu kota yang lain. 

 

“Sudahlah, yang penting kau mendapatkan apa yang kau inginkan bukan, Rian?”

 

Rian mencari barangnya di dalam tumpukan barang curian yang lain. 

 

“Apa itu?”

 

“Gelang milik anak viscount kota sebelah. Saat ia berjalan-jalan ia dirampok oleh perampok. Udahan yuk kita balik, aku sudah mendapatkan apa yang ku perlukan.”

 

“Kamu tidak ingin barang yang lain? Banyak barang berharga di sini, kenapa tidak diambil sekalian?” Tanya Arnold.

 

“Aku tidak serakus itu tahu. Sudah ku bilang aku hanya merampok untuk tujuan yang baik.”

 

“Ya sudah ayo kita kembali.”

 

Kami semua mendapat pengalaman baru, yaitu membunuh orang. Sangat tidak enak didengar memang. Namun, entah mengapa kami tidak merasa bersalah. Sepertinya pelajaran yang diberikan oleh Pak harun benar-benar berguna untuk kami. Beliau mengajarkan kami bahwa kita sebenarnya boleh-boleh saja membunuh orang yang sekiranya bersalah. Apalagi jika itu dilakukan di luar kota. Tidak ada hukum yang akan menjerat kita. 

 

Kami kembali menuju ke lorong utama ke arah tangga. Tidak diduga, ada seseorang yang menunggu kami di bawah tangga. Seseorang dengan badan berotot. Ia sedang duduk di tangga. Seakan menunggu kedatangan kami.

 

“Siapa itu?”

 

“Aku tidak tahu. Bosnya mungkin? Bagaimana, Rian?

 

“Tentu saja akan kita hadapi. Itu satu-satunya jalan keluar kita.”

 

“Nah gitu dong, kan aku jadi semangat!” Cantika yang dari tadi mengharapkan tawuran akhirnya terwujudkan.

 

“Kalian pasti sudah menghabisi rekan-rekanku, bukan?”

 

“Kalau iya kenapa?” Rian menantang.

 

“Cih, sudah kuduga mereka hanya bisa mencuri. Hey bocah! Bagaimana jika kau serahkan barang itu dan akan ku lepaskan kalian.”

 

“Siapa menurutmu di sini yang sedang terpojok?”

 

“Jadi kau menantangku ya bocah?! Kemarilah!”

 

“Kau yang kemari!”

 

“Kalau itu maumu!”

 

Si otot itu berlari dengan kencang menuju arah Rian. Tiba-tiba saja Rian memukul tembok lorong ini. Gelap seketika, tepat di depan Rian, banyak potongan-potongan daging berserakan.

 

“Bagaimana bisa?” Aku terkejut mendapati tubuh pencuri berotot itu dengan mudahnya terpotong seperti mentega. Rian menyalakan kembali dinding lorong. Ia tidak begitu terkejut melihat potongan-potongan daging si pencuri berotot di hadapannya.

 

“Rian, apakah kamu yang membuat ini?”

 

“Yap benar, dia salah satu alasan mengapa aku perlu bantuan kalian. Aku kira kita akan menghadapinya di basecamp mereka. Tapi dengan ini tugas kita dimudahkan.”

 

“Ahhh begitu toh. Kalau sudah tidak ada yang harus kita hadapi sebaiknya kita pulang sekarang. Rian, cepat ambil senarmu.”

 

Rian dengan ragu-ragu mengatakan,

 

“Uhhh sebenarnya aku tidak bisa mengambil senarku hehe.”

 

Aku melotot ke arah Rian.

 

“Hah? Kok bisa?”

 

“Senar-senar itu mengeras begitu aku memasangnya.”

 

“Kalau tidak bisa diambil setidaknya lakukan sesuatu!”

 

“Tapi beneran! Aku tidak bisa melakukan apapun dengan senar ini!”

 

“Lalu bagaimana kita bisa pulang?! Senarmu menutupi lorong ini!”

 

“Yah skill ini memang berguna tetapi ini menjadi merepotkan ketika di saat seperti ini.”

 

“Umm Yuuya, sebaiknya kita lewat sana saja.” Kana menarik bajuku dan menunjuk ke arah lorong sebelah kanan. Dinding di lorong itu hanya memiliki sedikit serangga, yang berarti sedikit penerangan. 

 

“Tidak, kau tidak bisa lewat sana. Jalan itu buntu. Tidak buntu juga sih, sebenarnya ada sebuah alat dan sebuah prasasti. Tapi yang jelas kita tidak bisa ke arah sana. Lebih baik kita memutar.”

 

“Kalau begitu Arnold dan Cantika kalian cari jalan memutar. Rian, kau coba hancurkan atau apalah dengan jebakan senarmu itu. Aku dan Kana akan mencoba lewat ‘jalan buntu’ ini. Siapa tahu kami menemukan jalan keluar rahasia.”

 

Lalu kami pun berpencar. Aku dan Kana menjelajah semakin dalam jalur ini. Semakin ke dalam semakin gelap pula penerangannya. Berlama-lama kami berjalan kami sudah tidak dapat melihat apapun.

 

“Yuuya, apakah sebaiknya kita kembali saja?” Kana menggandeng tanganku, ini juga semakin dingin dan gelap. 

 

“Kita maju sedikit lagi, tetap pegang tanganku.” Kana mengangguk.

 

“Ouch.” Aku tersandung sesuatu. Sesuatu seperti batu yang besar. Aku yang tidak bisa melihat sekitar meraba-raba lantai.

 

“Yuuya, apakah kamu baik-baik saja?”

 

Yeah i’m fine. Aku lebih penasaran dengan apa yang menyebabkan aku tersandung daripada mengkhawatirkan diriku sendiri. click. Suara apa itu? Sepertinya tanganku memencet sesuatu. Sesuatu muncul dari dalam tanah. Benda itu memancarkan cahaya berwarna biru secara perlahan. Prasasti?! Kenapa ada prasasti di sini? Sebuah batu yang memiliki tulisan. Aku tidak tahu kalau tulisannya bisa menyala. Tulisan ini pasti menyala karena sihir, itulah sebabnya semakin kesini semakin sedikit serangga yang ada di dinding.

 

“Apa ini?”

 

“Ini prasasti, sebuah batu yang memiliki tulisan unik di atasnya.” 

 

Prasasti ini… apakah tidak ada seorangpun yang pernah menemukan ini? Karena tulisan di prasasti ini menyala kami jadi bisa melihat sekitar meskipun samar-samar. Memang benar ini jalan buntu. Selain prasasti, hanya ada tembok di belakangnya. Tetapi apakah mereka tidak curiga ada sesuatu di sini?

 

“Yuuya, apakah kamu bisa membaca tulisan ini?”

 

“Pake nanya, jelas enggak lah.”

 

Tulisan kuno, tulisan yang sudah ada sejak ribuan tahun silam. Namun, karena persebaran bahasa dari para pedagang dan tentunya perkembangan sosial, bahasa ini lama-kelamaan jarang digunakan. Yang bisa membaca tulisan kuno ini mungkin hanyalah orang yang hidup sejak ratusan ribu tahun yang lalu. Tetapi, mana mungkin ada yang memiliki umur sepanjang itu.

 

“Lihat ini!”

Kana menemukan sebuah benjolan di lantai. Sepertinya ini adalah prasasti yang lain? Dengan perlahan Kana memencet benjolan itu. click. Bunyi yang sama seperti sebelumnya. Sebuah prasasti keluar dari dalam tanah. Ini adalah pasangan dari prasasti itu? Apa maksudnya?