A Hundred Teleportation – Volume 1 Bab 3 – Perkenalan Sihir dan Aura

F
179 pengunjung

Aku mengangkat tanganku. Semoga ini bukanlah hal yang tabu atau semacamnya.

“Pak Harun, izin bertanya.” Semoga pertanyaan yang ku lontarkan ini bukanlah hal yang tabu atau semacamnya.

“Silahkan.”

“Apakah di dunia ini ada orang yang tidak memiliki aura dan sihir?”

Pak Harun berpikir sejenak sambil meletakkan tangannya di dagu, sepertinya pertanyaanku aman-aman saja.

“Tidak, saya belum pernah mendengar orang yang tidak mempunyai keduanya. Namun, ada banyak orang yang hanya memiliki kapasitas sihir dan aura sebesar biji kacang.”

“Biji kacang?” Tanya Nara.

“Itu kiasan bodoh. Makanya jangan ngelamun.” Saut Arnold

Nara sepertinya masih kebingungan. Aku yang penasaran ingin tahu lebih dalam.

“Lalu apa yang terjadi pak?”

“Orang-orang yang memiliki kapasitas sedikit seperti itu akan menjadi budak dan diperalat oleh orang yang lebih kuat dan berkuasa. Lebih buruknya jika orang itu mati sia sia di jalanan.”

Pernyataan dari Pak Harun membuat Nara dan Arnold ketakutan.

“Tetapi tenang saja, jika mereka memiliki akal dan pengetahuan yang baik, mereka bisa membuka bisnis dan hidup sebagai rakyat menengah ke bawah. Mustahil untuk mengangkat derajat mereka. Masyarakat biasanya tidak menganggap penting orang yang tidak bisa memakai sihir dan aura. Meskipun begitu, itu masih termasuk nasib yang beruntung.”

Sepertinya orang-orang yang memiliki kapasitas rendah masih bisa menggunakan sihir, tetapi yang jelas tidak bisa digunakan secara terus menerus dan juga tidak berguna. Itulah sebabnya mereka dianggap tidak bisa memakai kedua sihir maupun aura.

“Dari mana asal kapasitas itu diberikan pak?” tanyaku.

“Setiap orang diberikan kapasitas mereka sedari lahir. Meskipun kedua orang tua mereka memiliki kapasitas yang tinggi, belum tentu keturunan mereka memiliki kapasitas yang tinggi. Baiklah, apakah ada pertanyaan yang lain?”

Kami semua diam memandangi satu sama lain, karena memang belum ada yang kami ingin tanyakan saat ini.

Pak Harun berdiri.

“Baiklah, jika tidak ada silahkan berdiri.”

Kami berdiri dan bersiap menerima ilmu dan latihan berikutnya.

“Setelah ini kita akan melakukan praktik. Namun sebelum itu, kalian harus keliling halaman ini sebanyak lima kali sebagai pemanasan. Meskipun kita berlatih sihir dan aura, kekuatan fisik juga tidak kalah penting.”

“Baik pak!” jawab kami bertiga. Kana hanya berdiam. Ia adalah tipe orang yang membenci olahraga. Bahkan ia menyatakan olahraga adalah musuh utamanya.

Halaman belakang Pak Harun tidak begitu besar, hanya sebesar setengah lapangan bola saja. Halaman yang begitu kering. Pemanasan ini hanya akan menjadi pemanasan kecil bagi kami.

Selagi kami berlari, Pak Harun terlihat sedang memasang dua buah patung di dekat pintu halaman. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Pak Harun dengan kedua patung batu tersebut.

“Kalian sudah selesai?”

“Sudah pak.” jawabku.

Pak Harun mengambil kerikil yang ada di bawahnya dan memberikannya kepadaku. Beliau menyuruh ku untuk melemparnya.

Dalam posisi bersedia, aku menutup mata kiri ku, membidik ke arah patung batu di sebelah kanan. Batu yang aku lempar hanya memantul, tidak ada apapun yang terjadi.

“Itu merupakan cara melempar biasa. Saya akan tunjukkan bagaimana cara melempar kerikil dengan menggunakan aura.”

Pak Harun menggunakan posisi bersedia lalu mengayunkan lengannya secara halus. Kerikil itu terlempar dengan kecepatan yang tidak wajar, dan benar saja, patung yang ada di sebelah kanan pecah begitu saja. Aku dan teman-temanku terheran, bagaimana bisa? Hanya dengan batu kecil bisa menghancurkan sebuah patung.

“Bagaimana?”

Aku tidak menyangka manusia normal bisa melempar batu dengan kekuatan sebesar itu. Ini pertama kalinya hal ajaib terjadi kepadaku!

“Kalian sudah bisa melihat perbedaannya. Untuk sekarang, kalian bisa melatih aura kalian terlebih dahulu. Pusatkan aura-aura yang ada di dalam tubuh kalian.”

“Aura ya….” Aku lupa kalau kami sedang berada di dunia lain, yaitu dunia yang penuh ketidakmasuk akalan ini. Kalau begitu, akan ku coba untuk fokus dalam merasakan aura yang ada di dalam tubuhku. Tidak butuh waktu yang lama, aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang ada di dalam diriku. Geli? Tidak. Gatal? Tidak. Sakit? Tidak. Sesuatu yang belum pernah ku rasakan sebelumnya.

“Kamu memiliki aura yang banyak ya, Yuuya?”

“Eh? Apakah bapak bisa merasakan aura orang lain?”

“Tidak, malah, saya bisa melihat aura itu. Coba ini.”

Pak Harun memberikan ku sebuah kerikil. Menyuruhku untuk melemparnya sekali lagi.

“Cobalah sekali lagi. Untuk kali ini, coba fokuskan auramu di lenganmu.”

Aku mencoba fokus kepada aura yang ada di tubuhku, lalu aliri lenganku dengan aura. Mereka terasa seperti sungai yang mengalir di dalam diriku. Lenganku terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Dalam posisi bersedia, mata kananku membidik. Aku mengayunkan lenganku secara halus, sama seperti yang Pak Harun lakukan sebelumnya.

Aku terdiam, terkejut dengan kekuatanku sendiri. Serpihan-serpihan batu berterbangan kesana-kemari. Padahal aku hanya mengayunkan kerikil itu sama seperti sebelumnya. Patung itu menjadi pecah berkeping-keping. Meskipun tidak terampil seperti Pak Harun, setidaknya hasil ini sudah sangat memuaskan. Pak Harun yang memperhatikan nampaknya juga terkejut dengan hasil yang dihasilkan.

“Kerja bagus, Yuuya. Kekuatanmu sepertinya sangat stabil di dalam dirimu. Jadi, kalian sudah pahamkan bedanya?”

Pak Harun lalu menyuruh kami untuk kembali berlatih memusatkan aura kami, sedangkan beliau akan mengambil beberapa patung batu tambahan. Arnold dan Nara mencoba fokus untuk merasakan aura yang ada di dalam diri mereka. Aku berjalan mendekati Kana. Hmm? Kana sepertinya terlihat kebingungan. Aku mendekati Kana untuk menanyakan kondisinya.

“Kamu terlihat bingung, Kana. Apakah kamu baik-baik saja?”

“Iya, aku baik-baik saja. Hanya saja aku masih tidak mengerti mengenai aura-aura ini.”

Mari kita coba pelan-pelan dalam mengajari pacarku ini. Aku menyuruh Kana untuk merasakan keberadaan aura yang ada di dalam dirinya. Ia memejamkan matanya. Sepertinya ia benar-benar berusaha untuk fokus. Beberapa saat kemudian….

“Apakah kamu merasakan suatu sensasi? Sensasi yang belum pernah kamu rasakan gitu?”

“Iya, benar, Yuuya, aku merasakan sesuatu di dalam diriku.”

“Sekarang, cobalah untuk memusatkannya di sekitar tanganmu.”

Seketika, pusaran angin muncul di sekitar dirinya. Angin yang semula hanya sepoi-sepoi, kini semakin kencang, membuatku terkejut. Semakin kencang hingga menerbangkan banyak kain yang sedang dijemur di halaman. Kana membuka matanya dan tersadar. Aku memperingatkan Kana untuk berhenti menggunakan aura itu. Pikirku, apakah itu benar-benar aura? Saat aku menggunakan aura, tidak ada hal seperti itu terjadi padaku. Pak Harun yang sedang membawa patung tambahan langsung meletakkan patungnya dan bergegas menuju ke arah kami.

“Pak Harun, tadi… apakah Kana memiliki kapasitas aura yang lebih banyak daripada umumnya?”

“Tidak, saya tidak melihat maupun merasakan keberadaan aura di sekitar Kana. Yang sebenarnya terjadi adalah Kana ingin melepaskan sihir dari dalam tubuhnya. Kana sepertinya memiliki kecocokan terhadap elemen sihir angin.”

“Lalu bagaimana dengan aura milik Kana, pak?”

“Saya sudah amati sedari tadi, dan saya tidak melihat, bahkan merasakan aura di sekitarnya. Sepertinya Kana tidak memiliki kapasitas aura sama sekali. Namun, ini masih sebatas spekulasi.”

“Jarang sekali ada orang yang hanya memiliki salah satunya saja. Ini pertama kalinya saya melihatnya.”

Kami semua terkejut, apalagi ditambah dengan pernyataan Pak Harun itu. Dari balik tirai, muncul seorang wanita. Beliau memanggil istrinya untuk mengukur kekuatan sihir milik Kana. Ibu Minah mendekati Kana dan memintanya untuk mengulurkan tangan Kana kepadanya. Kana mengulurkan tangannya. Ibu Minah menggenggam tangan milik Kana dengan posisi tangan Ibu minah di bawah tangan Kana.

“Kana, apakah kamu bisa fokus dalam merasakan sihirmu?”

Mereka berdua memejamkan mata mereka. Secara perlahan, muncul cahaya dari genggaman tangan mereka. Sedikit demi sedikit, cahaya tersebut semakin terang, ditambah dengan pusaran angin yang mengitari mereka, sama seperti saat Kana mencoba mengeluarkan ‘aura’ tadi. “Ah!” Muncul percikan listrik di genggaman tangan mereka. Ibu Minah melepaskan genggamannya dengan spontan.

“Ada apa? Apakah ibu baik-baik saja?” tanya Kana.

Ibu Minah terkena setruman dari genggaman tangan Kana, meskipun begitu Ibu Minah baik-baik saja.

“Kana memiliki sihir yang sangat besar. Saking besarnya, ia seperti memiliki kapasitas sihir dari kombinasi semua orang dari sebuah kerajaan.” ucap Ibu Minah.

Perbandingan yang cukup di luar nalar bagiku. Pak Harun masih tidak percaya dengan pernyataan Ibu Minah.

“Iya, tidak salah lagi! Tidak hanya memiliki kapasitas yang sangat banyak, ia juga memiliki kecocokan terhadap elemen angin dan listrik.”

Pernyataan Ibu Minah memberiku sebuah pertanyaan. Apakah orang yang memiliki kecocokan masih bisa menggunakan sihir elemen lain? Dari komik fantasi yang sering aku baca di waktu luang, mereka biasanya memiliki satu jenis elemen sihir saja. Aku harus mencari tahu tentang ini nanti! Ibu Minah yang bersemangat mengajak kami untuk mengukur sihir kami masing-masing. Sebenarnya bukan ide yang buruk juga sih untuk mengukur kapasitas sihir kami masing-masing sekarang. Kita bisa belajar secara individu juga. Mengeksplor sesuatu hal yang baru adalah hal yang menyenangkan!

Ibu Minah menyuruh kami untuk masuk ke dalam rumah. Beliau bilang ia memiliki alat ukurnya. Tentu saja kami sangat bersemangat dan tidak sabaran. Bagaimana tidak? Sihir kami akan diukur sekarang. Kami semua menunggu di ruang tamu dengan sabar. Iya sabar, hingga membuat mata Nara berbinar-binar. Arnold yang biasanya antusias dengan hal seperti ini malah mengikuti alur saja, tidak terlalu antusias, tetapi juga tidak menggebu-gebu.

“Tadaaa! Ini alat yang akan mengukur kapasitas sihir kalian!” Ibu Minah keluar dari ruang penyimpanan barang pribadinya. Lalu benda kubus berwarna putih itu diletakkan di meja ruang tamu depan kami. Alat itu memiliki nampan berwarna coklat sebagai alasnya.

“Apakah alat itu benar-benar bisa mengukur kapasitas sihir kita?” bisik Arnold meragukan keaslian benda itu kepadaku.

Bagi kami, alat tersebut terlihat seperti kubus polos saja. Tidak ada yang spesial dari penampilannya di samping dari nampan yang terlihat mewah itu. Ibu Minah menyuruh Arnold untuk meletakkan tangannya di atas kubus itu. Arnold berdiri dan menjulurkan tangannya ke arah kubus itu. Ia tampak ragu-ragu.

“Permisi, apakah Pak Harun ada di rumah?”

Kami semua menengok ke arah pintu masuk secara bersamaan. Ternyata ada seorang tamu, sepertinya orang itu sedang mencari Pak Harun. Arnold tidak jadi menaruh tangannya di kubus tersebut. Pak Harun pergi mendatangi si tamu. Memang, Pak Harun merupakan orang yang sibuk. Namanya saja kepala desa.

Arnold melamun sambil menyaksikan Pak Harun berjalan menuju pintu masuk. Setelah disadarkan, Arnold meletakkan tangannya secara perlahan di atas kubus itu. Tangannya menutupi bagian atas kubus. Ukuran tangannya sedikit lebih besar daripada kubusnya. Ia lalu mulai memejamkan matanya.

“Arnold, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Nara yang penasaran.

“Arnold, coba rasakan sihir yang ada di dalammu terlebih dahulu. Fokus.” ucap Ibu Minah.

“Arnold, bagaimana?” tanya Nara.

“Arnold, apa kamu merasa aneh?” tanya Kana.

“Arnold, kamu bisa merasakan sihirmu kan?” tanyaku.

“Berisik!” saut Arnold dengan rasa kesal dan suara yang lantang.

Ia kembali fokus dengan kubus itu. Sesaat kemudian, kubus itu memancarkan sinar berwarna putih secara perlahan. Tentu saja kami terkejut, bagaimana bisa sebuah balok biasa bisa mengeluarkan cahaya seperti itu? Apakah ini merupakan hal biasa di dunia ini? Ibu Minah terlihat biasa saja, beliau sedikit tersenyum melihat ekspresi kami yang sedang terkejut. Perlahan, sinar putih itu berubah menjadi warna kuning. Merasa cukup, Arnold melepaskan tangannya dari kubus itu.

“Cahaya kuning, sepertinya akan cocok denganmu, Arnold. Tapi sihirmu memiliki kapasitas biasa-biasa saja.” ucap Ibu Minah

“Apakah cahaya itu menunjukkan kapasitas sihir, bu?” tanyaku penasaran.

“Ya benar, warna cahaya itu juga menunjukkan kecocokan sihirmu dengan elemen tertentu. Sihir Arnold yang dialirkan melalui tangannya dapat dideteksi oleh kubus, lalu kubus itu memvisualisasikan elemen yang dominan pada aliran sihir kalian.”

Kemudian Ibu minah menyimpulkan bahwa elemen yang dimiliki oleh Arnold adalah elemen tanah. Arnold sepertinya sial sekali, sudah kapasitas sihirnya biasa saja, elemennya tanah pula.

“Yang benar saja. Itu tidak keren sama sekali. Apapun selain tanah.” ucapnya dengan lemas.

Mau tidak mau Arnold harus menerima kenyataannya. Bagaimanapun itu adalah bakat alami, sudah kodratnya. Arnold terlihat tersedu-sedu. Menurutku elemen tanah tidak terlalu terburuk. Ia bisa membuat barrier dari tanah atau mungkin membuat peluru dari tanah.

“Sudah-sudah lagipula ini hanya semacam gacha kan? Semua elemen juga keren jika kau bisa menguasainya.” Menghiburnya sedikit tidak ada salahnya. Ia melompat ke arahku lalu memelukku sambil menangis layaknya banjir. Tampar! Ibu Minah menepuk kedua tangannya dua kali. Ia menyuruh Nara untuk maju. Nara maju dengan penuh percaya diri setelah mendengar namanya dipanggil oleh Ibu Minah. Ia menatap Arnold yang masih meratapi kenyataan sambil terkikik kecil.

“Semoga saja elemennya lebih keren dari tanah,” gumam Nara, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk didengar semua orang.

Ibu Minah tersenyum sabar, lalu mengulurkan tangannya ke arah Nara. “Mari kita lihat elemenmu.” Semua mata tertuju pada Nara. Dalam sekejap, cahaya lembut berpendar di balok tersebut. Beberapa detik kemudian, ia mengumumkan dengan suara tenang, “angin.” Nara tersenyum lebar, jelas hasilnya. “Tentu saja! Elemen yang elegan dan fleksibel, seperti aku!” Arnold, yang masih memegang lengan bajuku, mendesah pelan. “Angin ya? Enaknya.” Aku hanya bisa mengangguk kecil, berusaha menenangkan Arnold yang masih merasa terpuruk.

“Yuuya,” Ibu Minah memanggilku. Sekarang giliranku. Aku menatap Nara, Arnold, dan kemudian maju ke depan. Karena aku masih khawatir dengan Arnold, aku menyuruh pacarku untuk menenangkan Arnold.

“Jadi sekarang giliranku ya.” gumamku dalam hati.

Nara kembali duduk di tempatnya, sementara itu aku mengulurkan tanganku ke arah kubus. Tanganku menyentuh si kubus. Tidak ada rasa yang spesial, benar-benar hanya sebuah kubus. Teksturnya seperti plastik biasa tetapi sangat halus. Ini saatnya aku fokus! Mataku terpejam dan aku mencoba untuk fokus. Sangat senyap, aku bisa mendengar Pak Harun sedang berbincang dengan tamu di luar. Sepertinya teman-temanku juga sedang fokus memperhatikanku. “Sihir mengalirlah! Sihir mengalirlah! Terpusatlah!” sambil mengucapkannya dalam hati. Apakah kubus itu sudah bereaksi? Aku tidak merasakan apapun saat ini. Apakah aku salah merapalkan mantra?

Nara melontarkan pertanyaan, “Kok kubus itu tidak menyala?” Aku membuka mataku. Benar saja, kubus itu tidak bereaksi sama sekali. Kenapa ya? Aku juga bingung di sini.

“Kamu bisa coba lagi.” Ibu Minah menyarankan.

“Semangat!” Kata Kana menyemangati.

Aku mengikuti saran beliau. Memejamkan mataku sekali lagi. Sihir mengalirlah! Sihir mengalirlah! Terpusatlah! Dalam momen ini aku bisa mendengar suara tamu Pak Harun berpamitan. Aku bisa mendengar Pak Harun berjalan masuk dari pintu depan yang ada di sebelah kiri ruang tamu. Omong-omong apakah sudah ada cahaya keluar dari kubus itu?

“Bagaimana, apakah ada sinar yang keluar?” Tanyaku.

“Tidak, kubus itu tidak bereaksi sama sekali,” jawab Nara.

“Apa?” Aku langsung membuka mataku. Seperti di awal, kubus itu tidak bereaksi. Ibu Minah menjulurkan tangannya kepadaku. “Coba ibu cek.” Aku memberikan tanganku. Beberapa detik berlalu…. Aku menelan ludah. Tidak tahu dengan hasilnya. Ibu Minah membuka sedikit bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu.

“Tidak ada sihir sedikitpun di dalam tubuhmu.” kata Ibu Minah dengan rasa simpati.

Begitu ya. Mereka juga terlihat bersimpati kepadaku. Di dalam dunia penuh sihir ini tidak mungkin ada orang yang tidak memiliki sihir, benar bukan? Orang yang tidak memiliki sihir sama sekali mungkin akan dianggap tidak hidup. Tidak-tidak, tidak mungkin akan seperti itu kan? Apakah aku akan dianggap sebagai sampah? Kalau begitu, aku harus bisa bertahan bagaimanapun caranya! Tapi bagaimana jika….

“Yuuya, kemarilah.” Di kala aku sedang kebingungan, Pak Harun sepertinya ingin memberitahu sesuatu kepadaku. Wajah beliau yang serius membuatku grogi.

“Kamu tidak bisa menggunakan sihir. Kamu bahkan tidak memiliki kapasitas sihir. Kamu bukan orang yang bisa bertahan di dunia ini. Akan tetapi, kamu memiliki aura. Kamu juga memiliki teman. Kamu akan bertahan dengan caramu sendiri. Buat dunia terpukau dengan apa yang kamu miliki!” Kata-kata Pak Harun menggugah diriku. Aku ingat kalau aku memiliki aura yang berbeda dari orang lain. Juga, aku memiliki teman yang berharga.

“Itu benar, Yuuya! Kamu bahkan bisa memecahkan patung dengan kerikil dalam sekali coba!” Arnold mencoba menghiburku.

“Kamu memang tidak memiliki sihir tetapi kamu punya kami kok!” Nara menghiburku juga.

Aku menengok ke arah Kana di sebelahku dan ia tersenyum lalu mengangguk kepadaku.

“Baiklah! Pak Harun, sepertinya saya membutuhkan bantuan bapak kali ini!”

Aku melihat Ibu Minah berbisik dengan salah satu pelayan lalu mengubah pandangannya ke arah kami. “Kalian semua! Bersihkan diri kalian dan bersiap untuk makan malam ya!”

Woah, tanpa kami sadari, langit tampak memerah dari jendela itu. Sihir tampak asik untuk kami pelajari sampai-sampai lupa waktu. Kami kembali ke kamar kami masing-masing untuk membersihkan diri. Tidak seperti di dunia kami sebelumnya, di sini kami harus menimba air dari sumur belakang rumah dan menggosok tubuh kami dengan menggunakan lap basah. Daerah ini memang daerah yang minim air tetapi juga bukan daerah yang kekurangan. Di dalam kamar dengan seember air, aku mulai menggosok tubuhku. Dari ujung tangan kiri perlahan ke atas sampai ke pundak. Aku masih sedikit grogi untuk menggosok bagian sensitif tubuhku. Meskipun aku tidak memiliki gumpalan di dadaku, tetap saja hal ini membuatku aneh. Menuju ke bagian bawah, gajahku sudah kabur dari kandangnya. Lewati saja deh bagian ini. Telapak kaki ku terlihat kecil dari sini. Sangat mulus hehe. Terakhir, aku mengelap lengan dan tangan kananku dengan menggunakan tangan kiriku. Sedih, aku tidak bisa mengguyur diriku dengan air yang banyak.

“Makan malam sudah siap Yuuya!” Suara Kana terdengar dari luar pintu kamarku.

Langsung saja aku mengenakan pakaian yang sudah disiapkan oleh pelayan. Pakaian yang lebih simpel dari yang aku pakai sebelumnya. Aku keluar dari kamar dan menuju ke ruang makan yang ada di sebelah kamarku. Dari kejauhan aku bisa melihat makanan yang disiapkan sangat beragam. Aku mendekati meja makan, penasaran dengan masakan apa yang disiapkan oleh para pelayan. Masakan ini…. Daging-dagingan semua. Makanan di sini didominasi oleh daging-dagingan mungkin karena faktor lokasi desa ini dan juga mengembangbiakkan hewan semacam unta lebih efisien di sini daripada menumbuhkan tanaman. Tidak lama kemudian Pak Harun datang dari balik tirai pintu ruang makan dan langsung duduk di tempat bersama Ibu Minah. Ibu Minah mempersilahkan kami semua untuk makan. Seminggu kemudian di tempat yang sama.

“Jadi Yuuya, apakah kamu sudah siap untuk menjelajahi dunia ini?”

Dalam seminggu ini aku benar-benar telah melatih kemampuan auraku. Bahkan aku juga membaca berbagai buku yang ada di ruang arsip Pak Harun. Yah aku juga bekerja sebagai sekretaris sih jadi sekalian saja. Lalu aku dan teman-temanku saling memandang satu sama lain dan saling mengangguk.

“Iya pak kami siap!” ucap kami bebarengan.

“Baiklah, kalau begitu para pelayan akan menyiapkan hal yang kalian perlukan. Dengan begitu, besok kalian siap untuk meninggalkan desa ini.”

Kami berterima kasih kepada keluarga Pak Harun yang telah berjasa membimbing kami. Aku yakin bimbingan Pak Harun pasti akan membantu kami dalam menjelajahi dunia ini. Meskipun sudah seminggu lamanya tinggal di sini, akan tetapi waktu berjalan begitu cepat. Lalu pagi ini di depan rumah….

“Ini uang saku untuk kalian. Seharusnya itu cukup untuk perbekalan kalian,” ucap Pak Harun sambil si pelayan menyodorkan nampan dengan sekantong koin di atasnya.

“Untuk makanan dan minuman sudah ada di dalam tas kalian, kalian tidak perlu khawatir. Selain itu, apakah ada hal lain yang kalian butuhkan?” Tanya Ibu Minah.

“Oh iya pak, apakah saya boleh membawa peta ini?” Tanyaku kepada Pak Harun.

“Tentu saja, kalian pasti akan membutuhkannya. Juga, jangan lupa membawa senjata kalian masing-masing untuk pertahanan diri. ”

Aku membawa dua dagger di saku kanan dan kiriku. Dagger ini terkesan mewah, dibalut dengan emas di bagian mata pisau dan memiliki ukiran di bagian gagangnya. Kana membawa sebuah buku sihir yang diberikan oleh Ibu Minah, yah karena Kana memang memiliki potensi, jadi Ibu Minah mempercayakan buku itu kepadanya. Lalu, Arnold membawa sebuah pedang karena Arnold sepertinya memiliki aura yang lebih dominan daripada sihirnya. Pedang ini mirip dengan dagger ku, hanya saja berbeda ukuran. Yang terakhir adalah Nara, ia membawa busur di punggungnya dan anak panah di pinggangnya. Aku melihat Nara saat ia sedang berlatih panahan. Aku tidak bisa menyangka dia bisa mengendalikan arah laju panah dengan sihir anginnya. Itu membuat anak panah menjadi lebih akurat. Sepertinya seminggu di tempat ini sudah membuat diri kami berkembang pesat. Tidak hanya praktik, tetapi juga ilmu pengetahuan. Setidaknya kami sudah tidak lagi minim informasi.

“Kalian sudah siap?” Tanyaku kepada teman-temanku.

“Pakai nanya. Jelas siap dong!” saut nara dengan rasa antusiasme.

Kami semua berjalan meninggalkan rumah Pak Harun sambil melambaikan tangan perpisahan. Perjalanan kami dimulai kembali.


Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *