Gemuruh guntur sangar menggelegar, membuat sore ini kian mencekam. Disusul dengan angin kencang yang memandu dahan pepohonan saling bergesekan. Beradu kekuatan hingga salah satunya patah dan terjatuh ke tanah.
Seorang gadis terus berlari, menghindari semburan api dari naga hitam yang berdiri tangguh tidak jauh darinya. Tangan kanan gadis itu menggapai anak panah di punggungnya. Dengan cepat ia melontarkan benda berujung runcing itu ke arah sang naga menggunakan busur lavender yang setia di genggamannya.
“Hei! Kita harus cepat selesaikan ini sebelum hujan datang!” seru seorang pria dengan tombak jerau di genggamannya. Tanpa menunggu balasan, digunakannya tombak itu untuk mencabik perut sang naga.
“Grraaahhgg!” Naga itu mengangkat satu kakinya, mengibaskannya ke arah pria itu.
Pria itu sempat menghindar, tetapi kaki naga itu tetap berhasil menjangkaunya. Membuat lengan kanannya mendapat luka cakaran yang cukup dalam. Tubuhnya pun terpelanting hingga dua meter ke belakang.
“Kats!” teriak gadis yang membawa busur itu. “Astaga, kamu terlalu dekat, bodoh!”
“Akh, setidaknya aku berhasil melukai naga itu. Tidak sepertimu yang hanya bisa menghindar tanpa menyerang.” Kats meringis, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Hei! Aku sudah berusaha untuk menye ….”
“Sudah! Jangan bertengkar. Nik, cepat obati Kats. Wisha, teruslah berusaha untuk menyerang, goresan kecil pun sudah cukup membantu,” ujar seorang pria dengan busur hitam di tangannya. Diarahkannya busur itu pada kepala naga, lalu segera melontarkan panahnya saat yakin sasarannya sudah tepat.
Nik bergerak cepat mendatangi Kats yang tersungkur, lalu membantu pria itu untuk tidur terlentang. Tangan kanannya mengarah pada luka cakaran di lengan Kats. Ia memejamkan mata, mulutnya mulai melafalkan mantra tanpa suara. Perlahan cahaya kekuningan keluar dari tangannya. Merambat lalu membalut luka Kats. Berakhir pecah ketika luka itu telah selesai diobati. Luka cakaran itu pun menutup sempurna tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Nik menghela napas. Matanya menelisik tubuh temannya. Memeriksa luka lain yang ada pada tubuh pria itu. Tangannya terangkat di atas dada Kats, lalu kembali melafalkan mantra setelah yakin tidak ada luka lain di tubuh pria itu. Sebuah cahaya kembali keluar dari tangan Nik. Kali ini berwarna hijau. Cahaya itu merambat ke seluruh tubuh Kats. Memulihkan tenaga pria itu dengan cepat.
Wisha memicingkan mata. Seperti naga-naga yang telah mereka kalahkan sebelumnya, naga ini juga memiliki kristal biru gelap di keningnya. Kristal itu memantulkan cahaya. Terlihat cantik sekaligus menyeramkan.
“Enxy, hancurkan kristal itu, biar kualihkan perhatiannya!” seru Wisha. Ia berlari mendekati naga yang masih berdiri gagah. Beberapa kali menembakinya dengan anak panah. Berusaha untuk menarik perhatian hewan buas itu.
Sementara Enxy menarik tali busurnya sekuat tenaga. Berkonsentrasi agar panahnya tidak meleset. Ketika anak panahnya sudah tepat mengarah ke kristal di kepala naga itu, ia melepaskannya.
Anak panah Enxy melesat cepat. Menerobos kabut yang mulai turun. Melawan angin yang bertiup kencang. Berakhir menancap tepat pada kristal di kepala sang naga.
“Grooaghh!” Erangan keras naga itu bergema. Tubuhnya terjatuh, meronta-ronta, dan menggeliat kesakitan.
Kats yang sudah pulih segera berlari mendekati naga itu. Dengan lihai ia menghindari kaki-kaki naga yang berusaha melukainya. Ketika sudah sampai di depan kepala naga itu, ia melompat dan mengarahkan seluruh kekuatan pada tombak di tangannya. Suara pukulan terdengar keras saat tombak Kats memecahkan kristal biru gelap itu. Membungkam sang naga untuk selamanya.
Keempat orang itu menghela napas lega. Mereka berhasil mengalahkan naga. Perjuangan keras mereka tidak sia-sia. Mereka tidak pulang dengan tubuh penuh luka. Sebaliknya, mereka dapat membawa pulang bagian-bagian tubuh naga yang bermanfaat. Tentu saja mereka tidak mempertaruhkan nyawa untuk membunuh naga tanpa alasan. Tulang dan kuku naga itu akan dijadikan obat dan senjata. Kulitnya akan dijahit menjadi pakaian. Sedangkan dagingnya dimasak untuk santapan bersama.
Wisha berjalan gontai di belakang ketiga temannya. Tubuhnya tidak bertenaga. Lututnya lemas, tidak kuat menopang tubuh dan beban di pundaknya. Langkahnya semakin lambat. Tanpa sadar, ia telah tertinggal jauh dari rombongan. Namun, itu bukanlah masalah besar sebab gadis itu sudah hafal jalan pulang.
Langkah kaki Wisha terhenti kala telinganya samar-samar menangkap rintihan seseorang. Gadis itu menggenggam busurnya erat. Tangan kanannya sudah siap menarik tali busur dengan anak panah di antara jari tengah dan telunjuknya. Matanya memicing, mengamati sambil menajamkan pendengaran.
Perlahan ia kembali melangkah, mendekati asal suara. Semakin dekat, suara rintihan serak semakin jelas terdengar. Wisha pun semakin erat menggenggam busur panahnya. Di hadapannya kini terdapat sebuah pohon besar dengan daun yang amat rimbun. Ia yakin suara itu berasal dari balik pohon ini. Gadis itu mengendap-endap, memutari pohon itu dengan perlahan. Setelah hampir melewati separuh pohon, dengan cepat ia memosisikan tubuhnya, bersiap untuk menyerang apa pun yang menunggunya.
Namun, bukannya melepaskan anak panah dari busurnya, gadis itu justru melonggarkan kembali tarikannya. Ia menatap panik seorang pria yang duduk bersandar pada batang pohon dengan tubuh yang bersimbah darah. “Hei, kau tidak apa-apa? Astaga, apa yang terjadi padamu?”
Wisha menghela napas kala mendapati pria itu masih bernapas meski tersendat-sendat. Ia memeriksa pria itu dengan cermat, mencari luka fatal pada tubuhnya. Mulut Wisha sedikit terbuka kala mendapati luka menganga di dada kiri pria itu. Dengan cepat ia mengarahkan tangannya pada luka itu. Ia menutup matanya, melafalkan mantra dengan hati-hati. Cahaya kuning keluar dari telapak tangannya, merambat perlahan pada luka itu.
Wisha meringis kala cahaya di tangannya pecah sebelum luka itu sembuh sepenuhnya. Gadis itu memang mampu melakukan penyembuhan, tetapi tidak sehebat Nik. Meskipun begitu, ia terus mencoba mengobati pria itu. Setidaknya hingga pendarahannya berhenti.
“Bisakah kamu berdiri? Rumahku dekat dari sini, aku akan meminta bantuan temanku untuk menyembuhkanmu.” Wisha menatap lekat mata sayu pria itu. Setelah mendapat anggukan sebagai jawaban, tangannya bergerak merangkul pria itu, membantunya untuk berdiri.
Perlahan-lahan mereka berjalan menyusuri jalan pulang. Beruntung, hujan belum turun hingga mereka sampai di rumah. Wisha mendorong pintu rumahnya dengan bahu, kemudian memandu pria itu untuk tidur di kursi panjang ruang tamu. Tanpa aba-aba, gadis itu terburu-buru ke luar rumah. Mencari Nik ke seluruh penjuru desa.
“Nik! Aku mencarimu ke mana-mana!” serunya setelah menemukan Nic sedang duduk santai di depan kedai. Napas Wisha tersendat-sendat, jantungnya pun berdetak kencang.
“Aku baru saja mengantarkan daging naga pada Levina. Kamu sudah mengantar bagianmu?” tanya Nik kemudian menegak minuman di tangannya.
“Ah iya, akan kulakukan itu nanti. Sekarang, kamu harus ikut aku! Ada orang sekarat di rumahku!” Wisha bangkit, menarik tangan Nik yang memegang gelas. Untung saja gelas itu sudah kosong, sehingga isinya tidak tumpah.
“Hah? Siapa yang sekarat? Tadi aku lihat Paman Metamor baik-baik saja, kok.”
“Bukan, bukan ayahku, tapi orang lain. Sudah, jangan banyak tanya. Ayo, cepat!”
Wisha berlari cepat menuju rumahnya. Sedangkan Nik setia mengekor di belakangnya. Tanpa berlama-lama ia segera membuka pintu rumahnya. Namun, tubuh gadis itu seketika mematung. Terkejut melihat ayahnya sedang duduk bersandar di kursi dengan kaki kanan yang dinaikkan ke kaki kiri. Kedua tangannya pun terlipat di depan dada. Jangan abaikan sorot mata tajam pada anaknya.
“Nik, obati laki-laki ini.” Pria paruh baya itu memerintah Nik tanpa mengalihkan pandangan dari anak semata wayangnya.
Nik tidak mengerti atas situasi antara ayah dan anak ini. Gadis berambut panjang itu memilih untuk melaksanakan perintah dari kepala desanya. Ia berniat untuk segera pergi setelah menyembuhkan pria asing itu. Enggan untuk ikut campur dalam masalah keluarga.
“Ayah … di-dia ta—”
“Diam Wisha. Biarkan dia yang menjelaskan setelah Nik selesai membuatnya sembuh.” Mendengar ucapan tegas sang ayah, Wisha menutup mulutnya rapat-rapat. Ia melangkah pelan mendekati kursi di samping ayahnya lalu duduk di sana.
Tidak butuh waktu lama, Nik telah selesai menyembuhkan pria itu. Pekerjaannya semakin mudah sebab sebagian luka pria itu telah disembuhkan oleh Wisha. Tanpa berlama-lama, ia segera pamit dari rumah ini.
Pria itu bangun dari tidurnya. Memosisikan diri agar duduk lebih sopan di rumah orang yang sudah menolongnya. Wajahnya sedikit tegang kala melihat ekspresi Metamor yang semakin mengerikan bila dipandang. “Terima kasih,” ucapnya.
“Jadi, apa tujuanmu datang ke mari?” tanya Metamor langsung pada intinya.
“A-Ayah, biarkan dia minum dulu. Akan kuambilkan.” Wisha gelagapan. Mendengar nada rendah yang ayahnya keluarkan, ia bisa menilai bahwa ayahnya tengah marah.
“Tetap di sana, Wisha. Dia tidak membutuhkan itu,” cegah Metamor saat melihat putrinya hendak berdiri. Ia kembali menatap tajam tamu tidak diundang itu setelah memastikan putrinya kembali duduk meski dengan gerakan patah-patah.
“Apa tujuan seorang keluarga kerajaan datang ke mari?” ulang Metamor.
Tangan Wisha bergerak menutup mulutnya yang terbuka. Gadis itu terkejut bukan main, tidak pernah terlintas dalam pikirannya bila ia akan bertemu dengan keluarga kerajaan. Terlebih ayahnya malah memperlakukan pria itu dengan tidak baik. Jantung gadis itu kini sudah berdetak lebih cepat dari batas normal. Ia merasa cemas. Takut bila kejadian buruk akan terjadi lagi. Sudah cukup sepuluh tahun lalu keluarga dan pengikut ayahnya dituduh sebagai penghianat hingga diusir dari kerajaan. Jangan sampai ada masalah lain lagi.
Sedangkan pria asing yang dua tahun lebih tua dari Wisha itu tersenyum. Perasaannya abu-abu. Di satu sisi ia merasa senang telah bertemu dengan guru berpedang favoritnya. Di sisi lain ia merasa sedih sebab kehadirannya ini rupanya tidak diharapkan. Namun, atas apa yang telah terjadi, ia bisa menerima bila situasi telah berubah.
“Meskipun Tuan Metamor sudah mengetahui identitas saya, akan lebih baik bila saya tetap memperkenalkan diri. Saya Jayden, putra tertua dari Raja Lubis IV.” Jayden tersenyum kecil sebelum melanjutkan, “Saya tahu, sepuluh tahun lalu bukanlah kesalahan Anda, Tuan Metamor. Hanya saja, saat itu saya baru berusia delapan tahun. Sulit bagi saya untuk menentang orang tua. Saya mohon maaf atas hal itu.”
“Tidak perlu bertele-tele.” Metamor berucap dingin.
“Kerajaan saat ini sedang dalam masa genting. Tahta telah sepenuhnya dikuasai oleh wanita itu. Wanita itu rupaya seorang siluman yang menyamar agar dapat masuk ke istana. Selain baginda raja, kini ia juga berhasil menghasut hampir semua isi kerajaan. Anda pasti sudah mengetahui hal ini, bukan? Saya yakin, inilah yang membuat Anda menentang bila Raja menikah dengan wanita itu?” Wajah Jayden berubah serius. Senyum hangat menghilang dari wajah tampannya.
Wajah garang Metamor kini sedikit melunak. Ia mengernyit, alisnya nyaris tertaut. Ia bertopang dagu dengan kedua tangannya yang saling menggenggam. Jayden benar, pria paruh baya itu telah mengetahui hal tersebut sejak awal.
“Saat ini perairan di sekitar kerajaan telah tercemar oleh racun. Hal itu membuat gagal panen dan ternak mati. Rakyat mulai kelaparan dan muncul wabah penyakit. Wani … ah, siluman itu, ucapannya yang manis dan nada bicaranya yang lembut mampu membuat semua orang tunduk padanya. Setelah semua orang dalam istana tunduk, ia memanggil bangsanya untuk datang. Saat malam tiba, siluman itu akan keluar untuk memangsa jiwa mereka yang berputus asa. Ia sengaja membuat semuanya menderita, sebab penderitaan itulah sumber makanannya. Syukurlah, saya berhasil kabur, bersembunyi di pondok yang hanya diketahui segelintir orang saja. Kemudian saya memutuskan untuk mencari dan meminta bantuan Anda, Tuan Metamor. Saya yakin, Anda pasti mengetahui cara untuk mengalahkan para siluman itu.”
“Untuk apa aku harus melakukan hal sia-sia untuk kerajaan mati itu?”
“Tidak. Kerajaan itu belum mati. Banyak rakyat yang melawan para siluman itu. Mereka siap mati demi kerajaan. Aku dan para kesatria yang tidak terpengaruh telah berusaha untuk mengungsikan mereka. Namun, mereka tetap ingin tinggal dan mempertaruhkan nyawa. Bagi mereka, mati di tanah sendiri jauh lebih membanggakan daripada di tempat lain. Tuan harus bertindak. Siluman itu terhubung dengan keseimbangan tanah ini. Hanya Tuan yang mengetahui kunci untuk melawan siluman itu.”
“Aku tidak terkejut bila mereka telah berhasil menguasai kerajaan, tetapi cukup mengejutkan bila rakyat mampu bertahan sejauh ini.” Metamor mengangguk-angguk. “Wisha, panggilkan Rejashin, Kats, Allain, dan Riyuu, kita akan mengadakan rapat saat ini juga. Katakan juga pada Abel, Nik, Fusato, Enxy, Elrey, Reondy, dan Mayme untuk mempersiapkan persenjataan. Umumkan pada seluruh wanita yang tidak tergabung dalam kesatria untuk mengumpulkan makanan.”
Wisha mengangguk kemudian beranjak untuk melaksanakan titah ayahnya. Gadis itu tahu isi pikiran Metamor. Ia tahu betul jika ayahnya yang dulu menjabat sebagai penasihat raja sekaligus panglima perang itu tidak akan pernah meninggalkan rakyat kerajaan. Perasaan simpati pria paruh baya itu tidak pernah padam bila menyangkut orang banyak.
Selama ini, pria paruh baya itu tidak pernah menyesal telah diusir dari kerajaan. Ia bersyukur sebab para pengikutnya masih setia dan mau ikut memulai kehidupan baru di luar wilayah kerajaan. Ia bahagia telah berhasil membangun desa kecil yang tenteram. Namun, satu hal yang ia sesalkan, ia tidak berhasil mencegah raja untuk menikahi seorang wanita misterius. Hanya dengan melihat mata wanita itu saja, Metamor tahu bila wanita itu adalah jelmaan siluman. Sayangnya, tidak ada yang percaya. Andai saja ia berhasil, pasti bencana besar ini tidak akan pernah terjadi.
~o~
Tiga hari setelah diadakan rapat, para kesatria yang dipimpin oleh Metamor siap untuk berangkat menuju kerajaan. Strategi sudah berada di tangan, stamina pun sudah maksimal. Jangan remehkan kemampuan bersenjata maupun berkelahi mereka. Sebelum ini pun mereka sudah melalui latihan keras setiap harinya.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Wisha segera menyusul rombongan yang sudah berkumpul di gapura desa. Jantungnya berdegup cepat, merasa gugup sebab ia akan kembali memasuki kerajaan yang sudah sepuluh tahun ia tinggalkan. Gadis itu menggenggam erat busur panah yang ada di tangannya. Mengingat sekilas ucapan ayahnya delapan tahun lalu setelah ia memutuskan untuk menjadi seorang pemanah. “Bagi seorang pemanah, busur panah adalah bagian dari tubuh mereka. Tenangkan dirimu, rasakan energi dalam dadamu. Percayalah pada kekuatanmu, Wisha.”
“Baiklah, karena semua sudah berkumpul, kita akan memulai perjalan yang akan dipandu oleh Pangeran Jayden.” Metamor mempersilakan Jayden untuk berdiri di sampingnya.
Metamor menatap Jayden yang melangkah tegap mendekatinya. Pria itu tersenyum tipis. Tatapan mata pria itu juga terasa hangat. Membuatnya rindu pada kerajaan. Rindu pada kesibukkannya mengurus urusan kerajaan. Juga rindu melatih pedang Jayden yang saat itu masih berumur delapan tahun. Pria itu sangat manis saat masih kecil.
Namun, kenangan akan kerajaan segera menghilang dari pikiran Metamor. Ia menjadi was-was. Tangan kanannya bersiap menarik pedang dari sarungnya. Pria paruh baya itu melihat kilatan kecil keunguan di dalam mata Jayden. Kilatan yang sama seperti yang ada mata wanita jelmaan siluman itu.
“Sial!” Metamor menarik pedang. Keraguannya kini telah berganti menjadi keyakinan setelah Jayden mengubah senyum tipisnya menjadi seringaian. Sebelumnya ia tahu ada aura lain dari tubuh Jayden saat ia menemukan pria itu terbaring di rumahnya. Hal itu yang membuatnya waspada Namun, ia sedikit mengesampingkannya kerana keselamatan rakyat lebih besar baginya.
Rupanya dugaan Metamor benar. Putera pertama raja itu telah dirasuki oleh siluman.