A Hundred Teleportation – Volume 1 Bab 2 – Desa Hakar

F
171 pengunjung

Terdapat tiga orang perempuan yang sedang berjalan di padang pasir dan dua di antaranya adalah jelmaan seorang pria.

“Hahhh, aku capek.”

“Aku juga….”

Ucap dua orang pria yang baru saja berubah menjadi perempuan. 

“Capek? Kita baru beberapa meter dari tempat kita tadi loh!” Kata Kana yang seorang perempuan tulen.

“Maksudku, aku dan Arnold baru saja berubah wujud menjadi seorang wanita. Kami perlu beradaptasi dengan tubuh ini.”

“Baiklah jika kamu berkata begitu. Maaf karena tidak menyadarinya.”

 

“Tidak usah dipikirkan.” Cuaca di sini memang sangat panas, tubuh laki-laki kami mungkin bisa menahannya. Namun, sangat disayangkan aku harus berubah menjadi perempuan. 

 

Mari kita kesampingkan hal tersebut. Untuk sekarang kami perlu menemukan kota atau desa sesegera mungkin. Setidaknya untuk mencari makanan dan minuman. Aku menjelaskan ini kepada Kana dan Arnold. Di sela-sela diriku menjelaskan, aku merasakan kehadiran sebuah entitas di belakang kami.

 

“Duar!” Seruan seseorang yang tidak kami kenal membuat Arnold terjatuh ke belakang.

 

“Siapa gerangan?!” 

 

“Maaf, kamu siapa ya?” tanyaku pada laki-laki berambut pirang ini.

 

“Ini aku Nara! Nara! Naraaa! Bagaimana kamu bisa lupa dengan sahabatmu sendiri, hiks.”

 

“Iya-iya tidak perlu sampai mengulangnya tiga kali begitu.” Kataku dengan nada jutek.

 

“Wah kamu menjadi tampan ya, Nara.” Kana melihat ke arah Nara dengan terkagum-kagum. 

 

Pada titik ini aku benar-benar merasa cemburu huhu. Nara yang awalnya  seorang wanita tulen sekarang berubah menjadi pria tampan berambut pirang. Meskipun sedikit lebih tinggi dariku ia tetap saja terlihat tampan. Aku tidak akan mengalah darinya.

 

“Hey, di dalam mu masih seorang perempuan kan? Kalau begitu jangan dekat-dekat sama cewek ku!” Ku tarik Kana menjauh dari Nara sambil memeluknya erat-erat.

 

“Apakah kamu cemburu?” Ia menatapku dengan senyuman yang menjengkelkan.

 

“Iya, aku cemburu kenapa memangnya?” Aku yang tidak terima memasang wajah seram ke arahnya sambil mengeratkan pelukanku kepada Kana. Nara tertawa terpingkal-pingkal karena kelakuanku.

 

“Lihatlah Kana, dia jadi memerah tuh.” 

 

Btw bagaimana kamu tahu kalau ini kami?” Arnold menyela di tengah pertikaian kami.

 

“Aku menguping percakapan kalian hehe.”

 

Dasar anak ini. Apakah semua perempuan suka menguping?

 

“Kamu benar-benar ceria ya, Nara. Padahal kita sedang di dunia lain dan terpisah dari keluarga kita. Kamu tidak gelisah?” 

 

Pertanyaan yang dilontarkan Kana masuk akal menurutku. Sudah sewajarnya kita merasa gelisah di sini, tetapi anak satu ini….

 

“Setelah mengetahui aku mempunyai wajah yang tampan aku tidak memperdulikan itu hehe.”

 

Anak ini beneran ga ketolong!

 

“Eh, aku ikut dengan kalian ya? Aku tidak tahu ingin pergi kemana jadi aku ingin ikut kalian saja.”

 

Kana mengangguk sambil tanda mengiyakan. Aku benar-benar dikalahkan olehnya. 

 

Kami melanjutkan kembali perjalanan kami di bawah teriknya matahari. Omong-omong di atas kami masih ada kastil yang melayang. Aku masih penasaran apa yang ada di dalamnya, dan siapa yang ada di dalam kastil tersebut. Mungkin suatu saat aku akan menghampiri kastil tersebut. Untuk sekarang kami akan berusaha bertahan hidup dan mempelajari apa saja yang ada di dunia ini. 

 

Tak terasa, hari mulai larut dan kami tidak kunjung menemukan tanda-tanda kehidupan. Kami juga sudah merasa lelah karena perjalanan ini. Benar-benar melatih mental dan raga.

 

“Hey, apa kalian tidak lelah?”

 

“Jujur saja aku sudah tidak merasakan kaki ku sama sekali.”

 

Aku  menoleh ke belakang melihat kondisi teman-temanku. Tanpa sengaja aku melihat sebuah gua. Mulut goa tersebut mengarah turun ke bawah tanah dan tertutup oleh dinding batu, tidak terlalu terlihat dari permukaan. Kurasa kami bisa menggunakannya sebagai tempat berlindung untuk sementara.

 

“Hey lihat itu, sepertinya itu sebuah gua. Kita bisa beristirahat di sana.”

 

Kami langsung berjalan ke arah gua tersebut. Benar saja, gua ini layak untuk kita tempati, setidaknya untuk malam ini.

 

“Whoa, ini cukup luas. Hey, lihat, ada air di sana!” Dengan semangat, Nara langsung menuju sumber air di bawah. Arnold yang berlari mengikuti Nara juga begitu bersemangat. 

 

Sementara Arnold dan Nara mengambil air, aku tak sengaja melihat sebuah siluet. Aku mendekatinya, sebuah patung menatapku dari seberang sumber air itu. Aku mencoba mendekatinya untuk melihatnya lebih jelas. Patung berbentuk manusia ini memiliki ukuran sebesar pria dewasa, mungkin sedikit lebih besar. Orang ini terlihat gagah dan berwibawa. Siapa sebenarnya patung orang ini? Kenapa ada patung seperti ini di dalam gua? Banyak pertanyaan yang muncul di benakku. 

 

Ini sangat berdebu, banyak sekali sarang laba-laba di sekitarnya. Sepertinya goa ini sudah sangat lama tidak dikunjungi manusia. Untuk berterima kasih kepada goa ini yang telah menyediakan air dan tempat berlindung, aku membersihkan patung ini. Setidaknya sebisaku.

 

Setelah selesai membersihkan patungnya kami menentukan siapa yang akan berjaga malam ini.

 

“Guys, siapa yang ingin berjaga pada malam ini?”

 

“Bagaimana jika kita bagi dua orang-dua orang saja?” Kana balik bertanya.

 

“Boleh tuh, aku dan Arnold akan berjaga setelah tengah malam, dadah. zzz.” Nara dan Arnold langsung tertidur dengan enaknya.

 

“Sial, mereka berdua langsung tidur. Kana, kamu tidak keberatan?”

 

“Gapapa kok, aku sudah biasa tidur tengah malam.”

 

“Baiklah. Aku ingin melihat kondisi di luar. Kamu mau ikut?”

 

“Nanti aku menyusul.”

 

Malam ini cukup terang, bintang-bintang dan galaksi terlihat jelas. Tidak seperti di duniaku sebelumnya yang hanya terlihat beberapa bintang dan satu bulan saja. Aku bisa melihat 2 buah bulan di atas ku saat ini. Istana yang melayang itu memantulkan cahaya bulan. Istana itu terlihat indah. Langit dunia ini sangatlah indah.

 

A Hundred Teleportation

 

Tidak ada apapun di sekitar sini, bahkan di ujung pandanganku pun tidak melihat cahaya lampu seperti kota atau desa. Yang berarti perjalanan kami masih panjang. 

 

Saat aku kembali, aku melihat Kana yang sedang terdiam di bawah gemerlap bintang.

 

“Kana, kamu tidak apa-apa?”

 

“Tidak apa-apa kok, hanya sedikit rindu dengan rumah.”

 

Ia perlahan meneteskan air mata. Aku tahu bagaimana rasanya, akan tetapi aku lebih mementingkan kondisi yang sedang kita alami daripada melakukan hal yang tidak diperlukan. Aku merasa tidak enak kepadanya, sebaiknya aku harus melakukan sesuatu.

 

“Hey, ayo kita bermain kartu di dalam. Kita bisa melakukannya sekaligus berjaga.”

 

Kana mengiyakan sambil mengusap air matanya.

 

Kami bermain kartu yang ku bawa dari dunia asal. Aku bercanda dengannya agar ia merasa baikan, sekaligus mengisi waktu kami saat berjaga.

 

Kurasa waktu berjaga kami berdua sudah lumayan lama, ditambah aku juga tidak bisa menahan rasa kantuk ku. Aku membangunkan Arnold dan Nara untuk berjaga hingga subuh. Setelah membangunkan mereka, tanpa basa-basi aku langsung tepar di tempat. Semoga mereka bisa diandalkan untuk berjaga.

 

“Yuuya! Yuuya! Bangun!”

 

Suara Nara membangunkanku.

 

“Ada apa?”

 

“Lihat!”

 

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Banyak rumah-rumah dan toko tak jauh dari gua ini. Padahal semalam tidak ada apapun yang terlihat, bahkan satu cahaya lampu pun tidak nampak. Tapi bagaimana bisa?

 

“Ayo kita bergegas pergi ke sana. Kita perlu persediaan makanan dan mungkin uang!”

 

unnamed

 

Setelah mengatakan itu, Arnold langsung ngacir ke arah desa tersebut. 

 

Desa ini memiliki vibe perkampungan ala-ala timur tengah. Bangunan-bangunannya terbuat dari tanah dan batu yang disusun rapi. Ada semacam peternakan yang memelihara unta dan kuda juga di sini. 

 

Selagi kami melihat-lihat, terdengar suara langkah kaki dari belakang kami. Seseorang terlihat membawa pedang melengkung, orang itu mengenakan pakaian timur tengah ala abad pertengahan seperti di film-film. Mungkinkah dia semacam polisi di sini?

 

“Hey, kalian!” Orang ini terlihat tergesa-gesa.

 

“Ada apa ya pak?”

 

“Apakah kalian baru saja datang dari arah sebelah sana?” Ia menunjuk ke arah dimana kami datang, yakni gurun yang kami lalui sebelumnya.

 

“I- iya, apakah ada yang salah?

 

“Mari ikut dengan saya.”

 

Aku, Kana, Arnold, dan Nara saling memandang satu sama lain. Kami tidak tahu apa yang sebaiknya kita lakukan. Semoga kami tidak terkena hukuman apapun karena sudah masuk seenaknya ke desa ini. Mau tidak mau, kami mengikuti orang ini. Namun, ada yang aneh, ia tidak terlihat ingin menangkap kami. Melihat warga di desa ini yang saling bercanda, bercakap-cakap dan bertransaksi membuat ku tenang. Sepertinya ini merupakan desa yang damai ya. 

 

Tunggu, koin apa itu? Sepertinya itu merupakan sejenis uang di dunia ini. Tapi bukankah membawa koin seperti itu akan terasa berat dan penuh di kantong? Lagipula koin itu seperti terbuat dari emas. Jika itu benar-benar emas, maka orang-orang di dunia ini masih belum mengerti seberapa langka sebuah barang tambang. Yah ini memang dunia lain sih, mungkin saja emas tidak selangka seperti di dunia kami sebelumnya.

 

“Kalian semua, kita sudah sampai.”

 

Kami tiba di sebuah rumah yang cukup besar dibandingkan rumah-rumah lain yang ada di sini. 

 

Tok, tok, tok.

 

Seseorang membuka pintu, ada seorang pria misterius di baliknya.

 

“Permisi tuan, mereka adalah orang yang datang dari arah Dead Land.”

 

Tunggu, orang itu?!

 

“Selamat datang para pengembara. Saya adalah kepala desa ini. Malik Al-Harun. Kalian bisa memanggil saya Harun.”

 

Uwahhh dia terlihat sangat gagah dan berwibawa.

 

“Uwah.”

 

“Uwah.”

 

Arnold dan Nara terpukau oleh wibawa dari pria yang bernama Harun tersebut.

 

“Oi kalian berdua, tidak usah sampai mengeluarkan suara seperti itu.”

 

Aku tidak heran mengapa mereka sampai kagum seperti itu. Suaranya saja berat dan terdengar sangat berwibawa. Tunggu, sepertinya aku sudah pernah melihat bapak ini sebelumnya.

 

“Kita bisa lanjutkan di dalam. Saya ingin menyampaikan beberapa hal.”

 

Selagi kami masuk ke dalam rumah kepala desa, Kana menarik bajuku dan berbisik kepadaku.

 

“Hei Yuuya, bukankah dia….”

 

Sudah kuduga bukan hanya aku yang menyadarinya.

 

Selagi kami dipersilahkan untuk duduk, seorang pelayan datang dari balik pintu dan memberikan kami segelas minuman. Pelayan-pelayan di sini hanya mengenakan pakaian kain sederhana. Namun pantas untuk dikenakan. Semacam tunik ku rasa? Lalu, untuk rumah Pak Harun rupanya memiliki bagian dalam yang berisi dan luas secara bersamaan.

 

Memperkenalkan diri merupakan hal yang wajar. 

 

Lalu, di sela perbincangan kami ada sesuatu yang membuatku penasaran. Di samping pintu lorong rumah pak Harun terdapat sebuah patung yang mirip dengan patung yang ada di dalam gua.

 

“Wah, patung yang bagus ya, Pak.”

 

“Patung itu…. Patung itu dibuat untuk menghormati mendiang ayah saya. Beliau merupakan pahlawan yang berjasa dalam mengusir Sand Worm. Meskipun sudah berhasil diusir, para warga desa ini masih belum berani keluar dari desa. Satu serangan Sand Worm sendiri bisa meruntuhkan setengah desa ini.”

 

“Sand Worm? Entitas apa itu?”

 

“Monster itu merupakan monster yang hanya bisa kalian temui di Dead Land. Gurun tersebut terletak lumayan jauh dari sini. Sepertinya Sand Worm itu sedang mencari sumber makanan karena di Dead Land hanya terdapat bangkai-bangkai hewan saja.”

 

Jadi tempat bernama Dead Land itu hanya dihuni oleh monster-monster yang dapat beradaptasi saja ya? Seperti kondisi laut dalam di dunia asal kami.

 

“Meskipun serangan Sand Worm tersebut sudah berlalu sejak lama, tetapi para warga di sini masih enggan meninggalkan desa ini. Kami hidup dengan sumber daya yang ada, itu semua sudah cukup.”

 

“Apakah itu sebabnya kami tidak bisa melihat desa anda kemarin, Pak?”

 

“Ya, benar, saya menggunakan sihir Mirage untuk mengelabui monster atau orang-orang yang mungkin menjadi ancaman desa kami.”

 

“Eh? Lalu kenapa tadi pagi aku bisa melihat desa ini ya?” Tanya Arnold kepadaku, tetapi sepertinya pak Harun ingin menjawab.

 

“Sepertinya salah satu dari kalian membersihkan patung ayah saya. Saya yang menyadari hal tersebut membuat saya ingin bertemu dan sekaligus berterima kasih kepada kalian.”

 

“Tidak-tidak. Yang kami lakukan hanya berlindung dan mencari air saja. Yah memang tidak salah kalau saya yang membersihkan patung itu sih.” Aku berusaha menutupi senyum nyengirku sebaik mungkin. Teman-temanku menatap diriku, di samping itu pak Harun malah tertawa kecil.

 

“Membersihkan patung itu memberi efek yang signifikan kepada sihir Mirage saya. Saya sengaja menyebarkan patung-patung tersebut di sekitar desa agar efek Mirage ini bertahan dan mencakup semua sisi dan sudut wilayah. Jadi saya tidak perlu repot-repot mengaktifkannya setiap hari, akan tetapi karena kelalaian saya, satu dari patung tersebut lupa saya beri sihir pembersih. Itu akibatnya patung itu menjadi sangat kotor dengan cepat. Jika tidak segera dibersihkan, bisa-bisa Sand Worm akan melihat desa ini dan menyerang untuk kedua kalinya. Saya berterima kasih atas bantuan yang anda berikan.”

 

“Ah, saya hanya melakukan hal yang sewajarnya saja.” Sekali lagi, aku berusaha menutupi senyum nyengirku. Dipuji seperti ini rasanya enak juga.

 

Sihir Mirage membutuhkan energi yang besar ya…. Sepertinya patung-patung itu digunakan untuk perantara agar bisa mempertahankan efek Mirage lebih lama.

 

“Hmmm, dari tadi saya penasaran dengan pakaian kalian. Apakah kalian datang dari negeri yang jauh?”

 

Pertanyaan yang dilontarkan pak Harun membuatku sedikit kebingungan untuk menjawabnya. Apakah aku harus mengatakan kebenarannya? Kalau aku mengatakan kebenarannya apakah beliau akan percaya mengenai cerita kami? Untuk sekarang main aman dulu saja deh.

 

“Iya pak, kurang lebih begitu.”

 

“Oh hahaha, sepertinya kalian salah memilih pakaian ya? Apakah kalian tidak menyiapkan pakaian ganti?”

 

“Sebenarnya kami mengalami sebuah musibah, barang bawaan kami tertinggal di tempat kejadian perkara jadi….”

 

“Saya memiliki banyak pakaian yang sudah tidak terpakai. Daripada mubazir, pakaian-pakaian tersebut lebih baik untuk kalian pakai.

 

“Sepertinya itu berlebihan pak.”

 

“Oi oi kenapa kamu bilang begitu huh?” Bisik Nara kepadaku. Tapi memang sih, pakaian kami sudah tidak cocok untuk kami. Apalagi untuk iklim panas seperti ini.

 

“Tidak usah dipikirkan. Tidak ada utusanku yang berani meninggalkan desa ini meskipun hanya sebentar. Jika bukan karena kalian, maka tidak ada yg akan membersihkan patung tersebut.”

 

Beberapa saat kemudian…

 

“Baiklah, nikmati waktu kalian untuk memilih pakaian. Jika ada pertanyaan, bisa kalian tanyakan kepada nona pelayan.” Pak Harun meninggalkan kami, sepertinya beliau ingin melanjutkan pekerjaannya.

 

unnamed-2

 

Uwoh, Kanaku terlihat sangat cantik dengan pakaian itu.

 

Pernak-pernik berwarna emas dan pakaiannya yang berwarna putih dan emas, sangat cocok dengan perawakan Kana yang . Terlihat estetik dan imut dalam satu waktu. Sugoi!

 

“Yuuya, kamu juga terlihat cantik.”

 

“Eh aku?”

 

Kana yang memujiku membuat sesuatu dalam diriku bangkit. Perasaan apa ini?  Aku juga mengenakan pakaian yang hampir mirip dengan Kana. Yang membedakan kami hanyalah warna baju dan aksennya. Kana mengenakan baju berwarna putih dengan pernak pernik emas sedangkan aku mengenakan baju berwarna hitam keungu-unguan. 

 

“Bagaimana denganku, apakah ini cocok denganku?” tanya Arnold.

 

“Arnold?”

 

Aku tidak percaya ini, dia terlihat elegan. Sial, dadanya lebih besar dari punyaku. Ia terlihat seperti wanita yang datang langsung dari suatu kerajaan dalam negeri dongeng.

 

Kana juga memuji Arnold.

 

“Kamu kelihatan anggun loh, Arnold.”

 

“Benarkah? Muahahaha, kamu boleh muji aku lagi loh. Hohoho.”

 

Ah, sifat anggunnya langsung lari.

 

“Oh itu dia Nara!”

 

Ia berpose aneh-aneh selayaknya wibu kelas kakap. Kami bertiga terdiam tidak sanggup berkata-kata. Ia mendekati kami.

 

“Oya-oya, kalian kembaran? Yuuya dan Kana?”

 

“Y- yeah?”

 

“Kalian terlihat manis! Kembar lagi!”

 

Dipuji oleh cowok ikemen dengan menggunakan kata ‘manis’ membuatku agak….

 

Beberapa saat setelah saling memuji di ruang ganti….

 

“Pak, bolehkah saya meminta satu hal?”

 

Pak Harun mempersilahkanku untuk memberitahu apa keinginanku.

 

“Saya menginginkan pengetahuan dasar dunia ini.”

 

“Pengetahuan dasar dunia ini? Kalau boleh tahu untuk apa?” 

 

Karena melihat perilaku Pak Harun yang begitu ramah dan penerima, sepertinya aku bisa mempercayakan cerita kami kepada Pak Harun. Singkat cerita, aku menjelaskan apa saja yang terjadi padaku dan teman-temanku.

 

“Pantas saja kalian berpakaian begitu. Tapi dunia lain ya?”

 

“Apakah sihir pemanggilan manusia ke dunia lain merupakan hal yang mustahil?”

 

“Tidak, bukannya mustahil, tetapi untuk melakukan pemanggilan satu orang saja membutuhkan energi yang sangat besar. Mau itu energi sihir maupun energi fisik. Tidak mungkin dilakukan oleh seseorang.”

 

Untuk sementara, kami berasumsi bahwa pelaku teleportasi ini merupakan ulah suatu kelompok atau sekte. Mungkin mereka menggunakan kami sebagai kelinci percobaan mereka. Tapi ini hanya sebatas asumsi kami saja. Aku yakin di sini Pak Harun masih sulit untuk menerima ceritaku, tetapi beliau mencoba untuk percaya kepada kami. Benar-benar orang yang bijak.

 

“Jadi, apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan langsung mencari orang yang menyebabkan semua ini?”

 

“Tidak pak, untuk sementara, kami akan mencari informasi dan mempersiapkan diri kami terlebih dahulu. Kami bahkan masih belum tahu cara menggunakan sihir. Terlebih, kami juga tidak punya uang dan perlengkapan yang lain. Mungkin kami akan mencari pekerjaan setelah ini.”

 

“Bagaimana jika kalian bekerja untuk saya?”

 

“Apa boleh pak?”

 

“Tentu saja. Kalian juga boleh tinggal di sini untuk sementara. Untuk makan dan minum-”

 

“Tunggu dulu Pak Harun! Bukankah itu berlebihan?”

 

“Anggap saja sebagai rasa terima kasih sebelumnya. Kalian akan saya beri upah dalam bentuk keperluan sehari-hari. Jika butuh sesuatu kalian bisa katakan saja. Kalian juga perlu mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang bukan?”

 

Bukankah beliau ini terlalu baik hati? Tapi memang tidak mengherankan sih, melihat dari kondisi rumah dan ekonomi Pak Harun, sepertinya beliau memang orang yang sudah lebih dari berkecukupan.

 

Jadi, kami berempat sudah memiliki tugas masing-masing. Aku Yuuya, Sekretaris desa dan membantu mengatur dokumen milik Pak Harun selaku kepala desa. Kana bekerja di toko pakaian milik istri Pak Harun. Arnold membantu para pelayan dalam menyiapkan makanan dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Untuk yang terakhir, Nara bekerja di peternakan unta sebagai perawat unta. 

 

Nara agak keberatan sih dengan merawat unta. Di dunia sebelumnya ia bahkan tidak pernah menyentuh unta sama sekali. Sekarang dia laki-laki sih, jadi memang sudah waktunya mengajarkan Nara pekerjaan laki-laki. Uwah ekspresi jijik tergambar di wajahnya. Jelek sekali.

 

Pada waktu luang, kami akan belajar mengenai dunia ini melalui praktek pada siang hari dan mempelajari secara teoritis pada malam hari. Tentu saja diajari langsung oleh Pak Harun dan istrinya. Kami diajari oleh mereka secara langsung, sebab desa ini tidak terdapat banyak buku yang bisa menjelaskan secara spesifik gambaran dunia ini maupun dasar-dasarnya.. Jadi, kami hanya mengandalkan Pak Harun dan Istrinya.

 

Istri Pak Harun merupakan orang yang tegas dan penurut terhadap suaminya. Ia mengenakan cadar, tetapi tetap terlihat stylish. Meskipun begitu, perempuan ini sangatlah terampil dalam menggunakan sihir. Dengar-dengar, istri Pak Harun juga sangat berjasa dalam mengusir Sand Worm beberapa waktu yang lalu.

 

Hari berganti, siang ini kami memiliki waktu untuk memulai latihan pertama kami.

 

Berada di halaman belakang rumah Pak Harun membuatku sedikit merinding. Senjata-senjata berbaris rapi dan terawat, seperti suasana untuk peperangan. Arnold dan Nara sepertinya penasaran dengan senjata-senjata itu. Berbagai jenis pedang, kapak, tombak, busur, panah, dan lain-lainnya. Aku tidak terlalu mengerti mengenai persenjataan. Mungkin nanti kami akan diajarkan menggunakan senjata juga.

 

“Jadi, untuk latihan pertama kita, kita bisa memulai dengan dasar aura terlebih  dahulu. Meskipun kalian berasal dari dunia lain kalian pasti bisa menggunakan aura bukan?”

 

“Pak Harun, maaf. Di dunia kami tidak ada yang namanya sihir dan aura.”

 

“Begitukah? Baiklah, kalau begitu saya akan mengajari kalian dari awal. Kita bisa duduk sebentar.”

 

“Baik pak.” Kami semua duduk lesehan di halaman dan mulai mendengarkan Pak Harun.

 

“Jadi, di dunia ini terdapat dua tipe kekuatan, yakni sihir dan juga aura. Semua orang di dunia ini memiliki keduanya. Tidak seperti di dunia kalian yang tidak memiliki keduanya, benar begitu?” Kami semua mengangguk secara bersamaan.

 

Pak Harun melanjutkan pelajarannya sambil mengangkat jari telunjuknya. “Meskipun semua orang memiliki aura dan sihir, orang-orang memiliki kapasitasnya masing-masing. Orang yang memiliki kapasitas sihir paling besar biasanya yang paling diminati, bahkan dianggap spesial di masyarakat. Tidak sedikit orang yang memiliki kapasitas sihir di atas rata-rata diangkat menjadi penyihir kerajaan. Namun, untuk menjadi penyihir kerajaan tidak hanya melihat kapasitas sihirnya saja, tetapi juga melihat dari aspek apa yang dikuasai oleh penyihir tersebut. Sebelum menjadi penyihir kerajaan biasanya penyihir muda wajib diajarkan sihir di sekolah khusus sihir kerajaan. Semua kerajaan pasti memiliki sekolah sihir, yang membuatnya berbeda hanyalah sistem dan standar seleksi yang mereka berikan.”

 

Nara mengangkat tangan tangannya, sepertinya ia ingin bertanya sesuatu.

 

“Anu, pak. Kalau semua kerajaan punya sekolah sihir, kenapa desa Hakar ini tidak memiliki sekolah sihir?” tanya Nara penasaran.

 

Omong-omong desa ini memiliki nama Hakar. Diambil dari nama kepala desa yang pertama. Istri Pak Harun memberitahuku kemarin.

 

“Jadi Nara, ini hanyalah sebuah desa kecil. Kami tidak memerlukan hal seperti itu, kami lebih memilih mempertahankan nilai tradisional kami dan menjauh dari dunia luar yang berbahaya.”

 

“Lalu bagaimana jika perlu pergi keluar desa?”

 

“Oi Nara, sopan dikit!” saut Arnold.

 

“Sudah-sudah tidak apa-apa. Kami memiliki semua yang kami butuhkan. Meskipun kami tidak memiliki sekolah sihir, kami tetap memiliki sekolah umum. Kami hanya tinggal di dalam desa untuk waktu yang sementara. Generasi setelah saya mungkin telah memperkuat kekuatan mereka. Perlahan mereka akan berani untuk meninggalkan desa. Sama seperti kalian yang sedang belajar, kalian akan berani menghadapi dunia luar, benar bukan?”

 

“Begitu ya, pak.” Aku hanya bisa mengatakan itu, kata-kata Pak Harun membuatku speechless.

 

“Baiklah, apakah kita bisa lanjut?”

 

“Bisa pak!” jawab kami berempat.

 

“Diantara banyaknya orang yang memiliki kapasitas sihir di atas rata-rata, juga banyak orang yang memiliki sedikit kapasitas sihir. Jika orang itu cukup beruntung, maka ia akan mempunyai lebih banyak kapasitas aura. Orang yang memiliki lebih banyak aura bisa menjadi kesatria dari sebuah wilayah. Namun, kembali dari individu masing-masing. Tidak semua orang suka bertarung. Kita harus bekerja sesuai dengan kemampuan dan gairah masing-masing.”

 

Setelah mendengar penjelasan dari Pak Harun yang panjang lebar, akhirnya sebuah tanda tanya muncul dengan sendirinya melalui kepalaku. Aku penasaran, bagaimana dengan nasib orang yang tidak memiliki kemampuan apapun, entah itu sihir maupun aura. Tapi, apakah ada orang yang tidak memiliki sama sekali sihir dan aura di dunia ini?

 


Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *